Minggu, 25 Desember 2011

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR  36  TAHUN  2009   
TENTANG
KESEHATAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang   :  a.  bahwa    kesehatan  merupakan  hak  asasi    manusia  dan 
salah  satu  unsur  kesejahteraan  yang  harus  diwujudkan
sesuai  dengan  cita-cita  bangsa  Indonesia  sebagaimana
dimaksud  dalam  Pancasila  dan  Undang-Undang  Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 
    b.  bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan
meningkatkan  derajat  kesehatan  masyarakat  yang
setinggi-tingginya  dilaksanakan  berdasarkan  prinsip
nondiskriminatif,  partisipatif,  dan  berkelanjutan  dalam
rangka  pembentukan  sumber  daya  manusia  Indonesia,
serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi
pembangunan nasional;
    c.  bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan
kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan
kerugian  ekonomi  yang  besar  bagi  negara,  dan  setiap
upaya  peningkatan  derajat  kesehatan  masyarakat  juga
berarti investasi bagi pembangunan negara; 
    d.  bahwa setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan
wawasan  kesehatan  dalam  arti  pembangunan  nasional
harus  memperhatikan  kesehatan  masyarakat  dan
merupakan tanggung jawab semua pihak baik Pemerintah
maupun masyarakat; 
    e.  bahwa  Undang-Undang  Nomor  23  Tahun  1992  tentang
Kesehatan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan,
tuntutan,  dan  kebutuhan  hukum  dalam  masyarakat
sehingga  perlu  dicabut  dan  diganti  dengan  Undang-Undang tentang Kesehatan yang baru; 
f.   bahwa . . .










- 2 -



  f.  bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam  huruf  a,  huruf  b,  huruf  c,  huruf  d,  dan  huruf  e
perlu membentuk Undang-Undang tentang Kesehatan; 
Mengingat  :  Pasal  20,  Pasal  28H  ayat  (1),  dan  Pasal  34  ayat  (3)
Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun
1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :
Menetapkan  :  UNDANG-UNDANG TENTANG KESEHATAN.


BAB I
KETENTUAN UMUM 

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.  Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental,
spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang
untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. 
2.  Sumber  daya  di  bidang  kesehatan  adalah  segala  bentuk
dana, tenaga, perbekalan kesehatan, sediaan farmasi dan
alat  kesehatan  serta  fasilitas  pelayanan  kesehatan  dan
teknologi  yang  dimanfaatkan  untuk  menyelenggarakan
upaya  kesehatan  yang  dilakukan  oleh  Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. 
3.  Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan
yang  diperlukan  untuk  menyelenggarakan  upaya
kesehatan.
4.   Sediaan . . .










- 3 -

4.  Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional,
dan kosmetika. 
5.  Alat  kesehatan  adalah  instrumen,  aparatus,  mesin
dan/atau  implan  yang  tidak  mengandung  obat  yang
digunakan  untuk  mencegah,  mendiagnosis,
menyembuhkan  dan  meringankan  penyakit,  merawat
orang  sakit,  memulihkan  kesehatan  pada  manusia,
dan/atau  membentuk  struktur  dan  memperbaiki  fungsi
tubuh. 
6.  Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan
diri  dalam  bidang  kesehatan  serta  memiliki  pengetahuan
dan/atau  keterampilan  melalui  pendidikan  di  bidang
kesehatan  yang  untuk  jenis  tertentu  memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. 
7.  Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau
tempat  yang  digunakan  untuk  menyelenggarakan  upaya
pelayanan  kesehatan,  baik  promotif,  preventif,  kuratif
maupun  rehabilitatif  yang  dilakukan  oleh  Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. 
8.  Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk
biologi  yang  digunakan  untuk  mempengaruhi  atau
menyelidiki  sistem  fisiologi  atau  keadaan  patologi  dalam
rangka  penetapan  diagnosis,  pencegahan,  penyembuhan,
pemulihan,  peningkatan  kesehatan  dan  kontrasepsi,
untuk manusia. 
9.  Obat  tradisional  adalah  bahan  atau  ramuan  bahan  yang
berupa  bahan  tumbuhan,  bahan  hewan,  bahan  mineral,
sediaan  sarian  (galenik),  atau  campuran  dari  bahan
tersebut  yang  secara  turun  temurun  telah  digunakan
untuk  pengobatan,  dan  dapat  diterapkan  sesuai  dengan
norma yang berlaku di masyarakat. 
10.  Teknologi  kesehatan  adalah  segala  bentuk  alat  dan/atau
metode  yang  ditujukan  untuk  membantu  menegakkan
diagnosa,  pencegahan,  dan  penanganan  permasalahan
kesehatan manusia.
11.  Upaya . . .










- 4 -


11.  Upaya  kesehatan  adalah  setiap  kegiatan  dan/atau
serangkaian  kegiatan  yang  dilakukan  secara  terpadu,
terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan
meningkatkan  derajat  kesehatan  masyarakat  dalam
bentuk  pencegahan  penyakit,  peningkatan  kesehatan,
pengobatan  penyakit,  dan  pemulihan  kesehatan  oleh
pemerintah dan/atau masyarakat. 
12.  Pelayanan  kesehatan  promotif  adalah  suatu  kegiatan
dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang
lebih  mengutamakan  kegiatan  yang  bersifat  promosi
kesehatan.
13.  Pelayanan  kesehatan  preventif  adalah  suatu  kegiatan
pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit. 
14.  Pelayanan  kesehatan  kuratif  adalah  suatu  kegiatan
dan/atau  serangkaian  kegiatan  pengobatan  yang
ditujukan  untuk  penyembuhan  penyakit,  pengurangan
penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau
pengendalian  kecacatan  agar  kualitas  penderita  dapat
terjaga seoptimal mungkin. 
15.  Pelayanan  kesehatan  rehabilitatif  adalah  kegiatan
dan/atau  serangkaian  kegiatan  untuk  mengembalikan
bekas  penderita  ke  dalam  masyarakat  sehingga  dapat
berfungsi  lagi  sebagai  anggota  masyarakat  yang  berguna
untuk  dirinya  dan  masyarakat  semaksimal  mungkin
sesuai dengan kemampuannya. 
16.  Pelayanan  kesehatan  tradisional  adalah  pengobatan
dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu
pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara
empiris  yang  dapat  dipertanggungjawabkan  dan
diterapkan  sesuai  dengan  norma  yang  berlaku  di
masyarakat. 
17.  Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah
Presiden  Republik  Indonesia  yang  memegang  kekuasaan
Pemerintah  Negara  Republik  Indonesia  sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
18.   Pemerintah . . .










- 5 -

18.  Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota
dan  perangkat  daerah  sebagai  unsur  penyelenggara
pemerintahan daerah.
19.  Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang kesehatan.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2
Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan
perikemanusiaan,  keseimbangan,  manfaat,  pelindungan,
penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender
dan nondiskriminatif dan norma-norma agama. 

Pasal 3
Pembangunan  kesehatan  bertujuan  untuk  meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang  agar  terwujud  derajat  kesehatan  masyarakat  yang
setinggi-tingginya,  sebagai  investasi  bagi  pembangunan
sumber  daya  manusia  yang  produktif  secara  sosial  dan
ekonomis. 

BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Kesatu
Hak

Pasal 4
Setiap orang berhak atas kesehatan. 

Pasal 5
(1)  Setiap  orang  mempunyai  hak  yang  sama  dalam
memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan. 
(2)   Setiap . . .










- 6 -


(2)  Setiap  orang  mempunyai  hak  dalam  memperoleh
pelayanan  kesehatan  yang  aman,  bermutu,  dan
terjangkau. 
(3)  Setiap  orang  berhak  secara  mandiri  dan  bertanggung
jawab  menentukan  sendiri  pelayanan  kesehatan  yang
diperlukan bagi dirinya. 

Pasal 6
Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi
pencapaian derajat kesehatan. 

Pasal 7 
Setiap  orang  berhak  untuk  mendapatkan  informasi  dan
edukasi  tentang  kesehatan  yang  seimbang  dan  bertanggung
jawab. 

Pasal 8
Setiap  orang  berhak  memperoleh  informasi  tentang  data
kesehatan  dirinya  termasuk  tindakan  dan  pengobatan  yang
telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan. 

Bagian Kedua
Kewajiban

Pasal 9
(1)  Setiap  orang  berkewajiban  ikut  mewujudkan,
mempertahankan,  dan  meningkatkan  derajat  kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya. 
(2)  Kewajiban  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1),
pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan perseorangan,
upaya  kesehatan  masyarakat,  dan  pembangunan
berwawasan kesehatan. 


Pasal 10 . . .










- 7 -

Pasal 10
Setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam
upaya memperoleh lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi,
maupun sosial. 

Pasal 11
Setiap  orang  berkewajiban  berperilaku  hidup  sehat  untuk
mewujudkan,  mempertahankan,  dan  memajukan  kesehatan
yang setinggi-tingginya. 

Pasal 12
Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat
kesehatan bagi orang lain yang menjadi tanggung jawabnya. 

Pasal 13
(1)  Setiap  orang  berkewajiban  turut  serta  dalam  program
jaminan kesehatan sosial. 
(2)  Program  jaminan  kesehatan  sosial  sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. 


BAB IV
TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH

Pasal 14
(1)  Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur,
menyelenggarakan,  membina,  dan  mengawasi
penyelenggaraan  upaya  kesehatan  yang  merata  dan
terjangkau oleh masyarakat. 
(2)  Tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikhususkan pada pelayanan publik. 

   Pasal 15 . . .










- 8 -


Pasal 15
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan,
tatanan,  fasilitas  kesehatan  baik  fisik  maupun  sosial  bagi
masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. 

Pasal 16
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya
di  bidang  kesehatan  yang  adil  dan  merata  bagi  seluruh
masyarakat  untuk  memperoleh  derajat  kesehatan  yang
setinggi-tingginya.

Pasal 17
Pemerintah  bertanggung  jawab  atas  ketersediaan  akses
terhadap informasi, edukasi, dan fasilitas pelayanan kesehatan
untuk meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya. 

Pasal 18
Pemerintah  bertanggung  jawab  memberdayakan  dan
mendorong peran aktif masyarakat dalam segala bentuk upaya
kesehatan. 

Pasal 19
Pemerintah  bertanggung  jawab  atas  ketersediaan  segala
bentuk  upaya  kesehatan  yang  bermutu,  aman,  efisien,  dan
terjangkau. 

Pasal 20
(1)  Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan
kesehatan  masyarakat  melalui  sistem  jaminan  sosial
nasional bagi upaya kesehatan perorangan. 
(2)  Pelaksanaan  sistem  jaminan  sosial  sebagaimana
dimaksud  pada  ayat  (1)  dilaksanakan  sesuai  ketentuan
peraturan perundang-undangan. 
BAB V . . .










- 9 -

BAB V
SUMBER DAYA DI BIDANG KESEHATAN

Bagian Kesatu
Tenaga Kesehatan

Pasal 21
(1)  Pemerintah  mengatur  perencanaan,  pengadaan,
pendayagunaan,  pembinaan,  dan  pengawasan  mutu
tenaga  kesehatan  dalam  rangka  penyelenggaraan
pelayanan kesehatan. 
(2)  Ketentuan  mengenai  perencanaan,  pengadaan,
pendayagunaan,  pembinaan,  dan  pengawasan  mutu
tenaga  kesehatan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)
diatur dalam Peraturan Pemerintah. 
(3)  Ketentuan  mengenai  tenaga  kesehatan  diatur  dengan
Undang-Undang. 

Pasal 22
(1)  Tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum. 
(2)  Ketentuan  mengenai  kualifikasi  minimum  sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. 

Pasal 23
(1)  Tenaga  kesehatan  berwenang  untuk  menyelenggarakan
pelayanan kesehatan. 
(2)  Kewenangan  untuk  menyelenggarakan  pelayanan
kesehatan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)
dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki. 
(3)  Dalam  menyelenggarakan  pelayanan  kesehatan,  tenaga
kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah. 
(4)  Selama  memberikan  pelayanan  kesehatan  sebagaimana
dimaksud  pada  ayat  (1)  dilarang  mengutamakan
kepentingan yang bernilai materi. 
(5)   Ketentuan . . .










- 10 -


(5)  Ketentuan  mengenai  perizinan  sebagaimana  dimaksud
pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri. 

Pasal 24
(1)  Tenaga  kesehatan  sebagaimana  dimaksud  dalam      
Pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode etik, standar
profesi,  hak  pengguna  pelayanan  kesehatan,  standar
pelayanan, dan standar prosedur operasional. 
(2)  Ketentuan  mengenai  kode  etik  dan  standar  profesi
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  diatur  oleh
organisasi profesi. 
(3)  Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan,
standar  pelayanan,  dan  standar  prosedur  operasional
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  diatur  dengan
Peraturan Menteri. 

Pasal 25
(1)  Pengadaan  dan  peningkatan  mutu  tenaga  kesehatan
diselenggarakan  oleh  Pemerintah,  pemerintah  daerah,
dan/atau  masyarakat  melalui  pendidikan  dan/atau
pelatihan. 
(2)  Penyelenggaraan  pendidikan  dan/atau  pelatihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung
jawab Pemerintah dan pemerintah daerah. 
(3)  Ketentuan  mengenai  penyelengaraan  pendidikan
dan/atau pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dalam Peraturan Pemerintah. 

Pasal 26
(1)  Pemerintah  mengatur  penempatan  tenaga  kesehatan
untuk pemerataan pelayanan kesehatan. 
(2)  Pemerintah  daerah  dapat  mengadakan  dan
mendayagunakan  tenaga  kesehatan  sesuai  dengan
kebutuhan daerahnya. 
(3)   Pengadaan . . .










- 11 -

(3)  Pengadaan  dan  pendayagunaan  tenaga  kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan
memperhatikan: 
a.   jenis  pelayanan  kesehatan  yang  dibutuhkan
masyarakat; 
b.   jumlah sarana pelayanan kesehatan; dan 
c.   jumlah tenaga kesehatan sesuai dengan beban kerja
pelayanan kesehatan yang ada. 
(4)  Penempatan  tenaga  kesehatan  sebagaimana  dimaksud
pada  ayat  (1)  dilakukan  dengan  tetap  memperhatikan
hak  tenaga  kesehatan  dan  hak  masyarakat  untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang merata. 
(5)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  penempatan  tenaga
kesehatan diatur dalam Peraturan Pemerintah. 

Pasal 27
(1)  Tenaga  kesehatan  berhak  mendapatkan  imbalan  dan
pelindungan  hukum  dalam  melaksanakan  tugas  sesuai
dengan profesinya. 
(2)  Tenaga  kesehatan  dalam  melaksanakan  tugasnya
berkewajiban  mengembangkan  dan  meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. 
(3)  Ketentuan  mengenai  hak  dan  kewajiban  tenaga
kesehatan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dan  
ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 

Pasal 28
(1)  Untuk  kepentingan  hukum,  tenaga  kesehatan  wajib
melakukan  pemeriksaan  kesehatan  atas  permintaan
penegak hukum dengan biaya ditanggung oleh negara. 
(2)  Pemeriksaan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)
didasarkan  pada  kompetensi  dan  kewenangan  sesuai
dengan bidang keilmuan yang dimiliki. 


 Pasal 29 . . .










- 12 -


Pasal 29
Dalam  hal  tenaga  kesehatan  diduga  melakukan  kelalaian
dalam  menjalankan  profesinya,  kelalaian  tersebut  harus
diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.

Bagian Kedua
Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Pasal 30
(1)  Fasilitas  pelayanan  kesehatan,  menurut  jenis
pelayanannya terdiri atas: 
a.   pelayanan kesehatan perseorangan; dan
b.   pelayanan kesehatan masyarakat. 
(2)  Fasilitas  pelayanan  kesehatan  sebagaimana  dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a.   pelayanan kesehatan tingkat pertama; 
b.   pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan 
c.   pelayanan kesehatan tingkat ketiga. 
(3)  Fasilitas  pelayanan  kesehatan  sebagaimana  dimaksud
pada  ayat  (1)  dilaksanakan  oleh  pihak  Pemerintah,
pemerintah daerah, dan swasta. 
(4)  Ketentuan  persyaratan  fasilitas  pelayanan  kesehatan
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2)  dan  ayat  (3)
ditetapkan  oleh  Pemerintah  sesuai  ketentuan  yang
berlaku. 
(5)  Ketentuan  perizinan  fasilitas  pelayanan  kesehatan
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2)  dan  ayat  (3)
ditetapkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah. 

Pasal 31
Fasilitas pelayanan kesehatan wajib:
a.  memberikan  akses  yang  luas  bagi  kebutuhan  penelitian
dan pengembangan di bidang kesehatan; dan 
b.   mengirimkan laporan hasil penelitian dan pengembangan
kepada pemerintah daerah atau Menteri. 
 Pasal 32 . . .










- 13 -

Pasal 32
(1)  Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan,
baik  pemerintah  maupun  swasta,  wajib  memberikan
pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien
dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. 
(2)  Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan,
baik  pemerintah  maupun  swasta  dilarang  menolak
pasien dan/atau meminta uang muka. 

Pasal 33
(1)  Setiap  pimpinan  penyelenggaraan  fasilitas  pelayanan
kesehatan  masyarakat  harus  memiliki  kompetensi
manajemen kesehatan masyarakat yang dibutuhkan. 
(2)  Kompetensi  manajemen  kesehatan  masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri. 

Pasal 34
(1)  Setiap  pimpinan  penyelenggaraan  fasilitas  pelayanan
kesehatan  perseorangan  harus  memiliki  kompetensi
manajemen kesehatan perseorangan yang dibutuhkan. 
(2)  Penyelenggara  fasilitas  pelayanan  kesehatan  dilarang
mempekerjakan  tenaga  kesehatan  yang  tidak  memiliki
kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi. 
(3)  Ketentuan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dan
ayat  (2)  dilaksanakan  sesuai  dengan  ketentuan
peraturan perundang-undangan. 

Pasal 35
(1)  Pemerintah daerah dapat menentukan jumlah dan jenis
fasilitas  pelayanan  kesehatan  serta  pemberian  izin
beroperasi di daerahnya. 

(2)   Penentuan  . . .










- 14 -


(2)  Penentuan  jumlah  dan  jenis  fasilitas  pelayanan
kesehatan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)
dilakukan  oleh  pemerintah  daerah  dengan
mempertimbangkan: 
a.    luas wilayah;
b.    kebutuhan kesehatan;
c.    jumlah dan persebaran penduduk;
d.    pola penyakit;
e.    pemanfaatannya;
f.     fungsi sosial; dan
g.    kemampuan dalam memanfaatkan teknologi.
(3)  Ketentuan mengenai jumlah dan jenis fasilitas pelayanan
kesehatan serta pemberian izin beroperasi sebagaimana
dimaksud  pada  ayat  (1)  berlaku  juga  untuk  fasilitas
pelayanan kesehatan asing. 
(4)  Ketentuan mengenai jumlah dan jenis fasilitas pelayanan
kesehatan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2)  tidak
berlaku  untuk  jenis  rumah  sakit  khusus  karantina,
penelitian, dan asilum. 
(5)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  penyelenggaraan
fasilitas  pelayanan  kesehatan  sebagaimana  dimaksud
pada  ayat  (1)  dan  ayat  (2)  diatur  dengan  Peraturan
Pemerintah. 

Bagian Ketiga
Perbekalan Kesehatan 

Pasal 36
 (1)   Pemerintah  menjamin  ketersediaan,  pemerataan,  dan
keterjangkauan  perbekalan  kesehatan,  terutama  obat
esensial.
(2)   Dalam  menjamin  ketersediaan  obat  keadaan  darurat,
Pemerintah  dapat  melakukan  kebijakan  khusus  untuk
pengadaan  dan  pemanfaatan  obat  dan  bahan  yang
berkhasiat obat.
Pasal 37 . . .










- 15 -

Pasal 37
(1)  Pengelolaan  perbekalan  kesehatan  dilakukan  agar
kebutuhan  dasar  masyarakat  akan  perbekalan
kesehatan terpenuhi.
(2)  Pengelolaan  perbekalan  kesehatan  yang  berupa  obat
esensial dan alat kesehatan dasar tertentu dilaksanakan
dengan memperhatikan kemanfaatan, harga, dan faktor
yang berkaitan dengan pemerataan. 

Pasal 38
(1)  Pemerintah  mendorong  dan  mengarahkan
pengembangan  perbekalan  kesehatan  dengan
memanfaatkan potensi nasional yang tersedia. 
(2)  Pengembangan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)
diarahkan  terutama  untuk  obat  dan  vaksin  baru  serta
bahan alam yang berkhasiat obat.
(3)  Pengembangan perbekalan kesehatan dilakukan dengan
memperhatikan kelestarian lingkungan hidup, termasuk
sumber daya alam dan sosial budaya. 

Pasal 39
Ketentuan mengenai perbekalan kesehatan ditetapkan dengan
Peraturan Menteri.

Pasal 40
(1)  Pemerintah menyusun daftar dan jenis obat yang secara
esensial harus tersedia bagi kepentingan masyarakat.
(2)  Daftar  dan  jenis  obat  sebagaimana  dimaksud  pada    
ayat (1) ditinjau dan disempurnakan paling lama setiap
2 (dua) tahun sesuai dengan perkembangan kebutuhan
dan teknologi.
(3)  Pemerintah menjamin agar obat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tersedia secara merata dan terjangkau oleh
masyarakat.
(4)   Dalam . . .










- 16 -


(4)  Dalam  keadaan  darurat,  Pemerintah  dapat  melakukan
kebijakan  khusus  untuk  pengadaan  dan  pemanfaatan
perbekalan kesehatan.
(5)  Ketentuan  mengenai  keadaan  darurat  sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan mengadakan
pengecualian  terhadap  ketentuan  paten  sesuai  dengan
peraturan perundang-undangan yang mengatur paten. 
(6)  Perbekalan  kesehatan  berupa  obat  generik  yang
termasuk  dalam  daftar  obat  esensial  nasional  harus
dijamin  ketersediaan  dan  keterjangkauannya,  sehingga
penetapan harganya dikendalikan oleh Pemerintah.
(7)  Ketentuan lebih lanjut mengenai perbekalan kesehatan
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (6)  diatur  dengan
Peraturan Menteri.

Pasal 41
(1)  Pemerintah  daerah  berwenang  merencanakan
kebutuhan  perbekalan  kesehatan  sesuai  dengan
kebutuhan daerahnya.
(2)  Kewenangan  merencanakan  kebutuhan  perbekalan
kesehatan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  tetap
memperhatikan  pengaturan  dan  pembinaan  standar
pelayanan yang berlaku secara nasional.


Bagian Keempat
Teknologi dan Produk Teknologi

Pasal 42
(1)  Teknologi  dan  produk  teknologi  kesehatan  diadakan,
diteliti,  diedarkan,  dikembangkan,  dan  dimanfaatkan
bagi kesehatan masyarakat. 


( 2)   Teknologi  . . .










- 17 -

(2)  Teknologi  kesehatan  sebagaimana  dimaksud  pada    
ayat  (1)  mencakup  segala  metode  dan  alat  yang
digunakan  untuk  mencegah  terjadinya  penyakit,
mendeteksi  adanya  penyakit,  meringankan  penderitaan
akibat  penyakit,  menyembuhkan,  memperkecil
komplikasi, dan memulihkan kesehatan setelah sakit. 
(3)  Ketentuan  mengenai  teknologi  dan  produk  teknologi
kesehatan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  harus
memenuhi  standar  yang  ditetapkan  dalam  peraturan
perundang-undangan. 

Pasal 43
(1)  Pemerintah  membentuk  lembaga  yang  bertugas  dan
berwenang  melakukan  penapisan,  pengaturan,
pemanfaatan,  serta  pengawasan  terhadap  penggunaan
teknologi dan produk teknologi. 
(2)  Pembentukan  lembaga  sebagaimana  dimaksud  pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 

Pasal 44
(1)  Dalam  mengembangkan  teknologi  sebagaimana
dimaksud  dalam  Pasal  42  dapat  dilakukan  uji  coba
teknologi atau produk teknologi terhadap manusia atau
hewan. 
(2)  Uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan  jaminan  tidak  merugikan  manusia  yang
dijadikan uji coba. 
(3)   Uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
oleh  orang  yang  berwenang  dan  dengan  persetujuan
orang yang dijadikan uji coba. 
(4)   Penelitian    terhadap  hewan  harus  dijamin  untuk
melindungi  kelestarian hewan tersebut serta mencegah
dampak  buruk  yang  tidak  langsung  bagi  kesehatan
manusia. 
(5)   Ketentuan . . .










- 18 -


(5)   Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  pelaksanaan  uji  coba
terhadap manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah. 

Pasal 45
(1)  Setiap  orang  dilarang  mengembangkan  teknologi
dan/atau produk teknologi yang dapat berpengaruh dan
membawa risiko buruk terhadap kesehatan masyarakat. 
(2)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  pengembangan
teknologi  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  diatur
dengan Peraturan Pemerintah. 


BAB VI
UPAYA KESEHATAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 46
Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya
bagi  masyarakat,  diselenggarakan  upaya  kesehatan  yang
terpadu  dan  menyeluruh  dalam  bentuk  upaya  kesehatan
perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat. 

Pasal 47
Upaya  kesehatan  diselenggarakan  dalam  bentuk  kegiatan
dengan  pendekatan  promotif,  preventif,  kuratif,  dan
rehabilitatif  yang  dilaksanakan  secara  terpadu,  menyeluruh,
dan berkesinambungan. 

Pasal 48
(1)  Penyelenggaraan  upaya  kesehatan  sebagaimana
dimaksud  dalam  Pasal  47  dilaksanakan    melalui
kegiatan: 
a.    pelayanan . . .










- 19 -

a.  pelayanan kesehatan; 
b.  pelayanan kesehatan tradisional;
c.  peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit;
d.  penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan;
e.  kesehatan reproduksi;
f.  keluarga berencana;
g.  kesehatan sekolah;
h.  kesehatan olahraga;
i.  pelayanan kesehatan pada bencana;
j.  pelayanan darah;
k.  kesehatan gigi dan mulut;
l.  penanggulangan  gangguan  penglihatan  dan
gangguan pendengaran;
m.  kesehatan matra;
n.  pengamanan  dan  penggunaan  sediaan  farmasi  dan
alat kesehatan;
o.  pengamanan makanan dan minuman;
p.  pengamanan zat adiktif; dan/atau
q.  bedah mayat.
(2)  Penyelenggaraan  upaya  kesehatan  sebagaimana
dimaksud  pada  ayat  (1)  didukung  oleh  sumber  daya
kesehatan. 

Pasal 49
(1)  Pemerintah,  pemerintah  daerah  dan  masyarakat
bertanggung  jawab  atas  penyelenggaraan  upaya
kesehatan. 
(2)  Penyelenggaraan upaya kesehatan harus memperhatikan
fungsi  sosial,  nilai,  dan  norma  agama,  sosial  budaya,
moral, dan etika  profesi. 

Pasal 50
(1)  Pemerintah  dan  pemerintah  daerah  bertanggung  jawab
meningkatkan dan mengembangkan upaya kesehatan. 
(2) Upaya . . .










- 20 -


(2)  Upaya  kesehatan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)
sekurang-kurangnya  memenuhi  kebutuhan  kesehatan
dasar masyarakat. 
(3)  Peningkatan  dan  pengembangan  upaya  kesehatan
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dilakukan
berdasarkan pengkajian dan penelitian. 
(4)  Ketentuan  mengenai  peningkatan  dan  pengembangan
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dilaksanakan
melalui  kerja  sama  antar-Pemerintah  dan  antarlintas
sektor. 
Pasal 51
(1)  Upaya  kesehatan  diselenggarakan  untuk  mewujudkan
derajat  kesehatan  yang  setinggi-tingginya  bagi  individu
atau masyarakat. 
(2)  Upaya  kesehatan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)
didasarkan pada standar pelayanan minimal kesehatan. 
(3)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  standar  pelayanan
minimal kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah. 

Bagian Kedua
Pelayanan Kesehatan

Paragraf Kesatu
Pemberian Pelayanan

Pasal 52
(1)  Pelayanan kesehatan terdiri atas: 
a.  pelayanan kesehatan perseorangan; dan
b.  pelayanan kesehatan masyarakat.
(2)  Pelayanan  kesehatan  sebagaimana  dimaksud  pada    
ayat  (1)  meliputi  kegiatan  dengan  pendekatan  promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif. 



Pasal 53 . . .










- 21 -

Pasal 53
(1)  Pelayanan  kesehatan  perseorangan  ditujukan  untuk
menyembuhkan  penyakit  dan  memulihkan  kesehatan
perseorangan dan keluarga. 
(2)  Pelayanan  kesehatan  masyarakat  ditujukan  untuk
memelihara  dan  meningkatkan  kesehatan  serta
mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat. 
(3)  Pelaksanaan  pelayanan  kesehatan  sebagaimana
dimaksud  pada  ayat  (1)  harus  mendahulukan
pertolongan  keselamatan  nyawa  pasien  dibanding
kepentingan lainnya. 

Pasal 54
(1)  Penyelenggaraan  pelayanan  kesehatan  dilaksanakan
secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata
dan nondiskriminatif. 
(2)  Pemerintah  dan  pemerintah  daerah  bertanggung  jawab
atas penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1). 
(3)  Pengawasan  terhadap  penyelenggaraan  pelayanan
kesehatan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)
dilakukan  oleh  Pemerintah,  pemerintah  daerah,  dan
masyarakat. 

Pasal 55
(1)  Pemerintah  wajib  menetapkan  standar  mutu  pelayanan
kesehatan. 
(2)  Standar  mutu  pelayanan  kesehatan  sebagaimana
dimaksud  pada  ayat  (1)  diatur  dengan  Peraturan
Pemerintah. 





Paragraf Kedua . . .










- 22 -


Paragraf Kedua
Perlindungan Pasien 

Pasal 56
(1)  Setiap  orang  berhak  menerima  atau  menolak  sebagian
atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan
kepadanya  setelah  menerima  dan  memahami  informasi
mengenai tindakan tersebut secara lengkap. 
(2)  Hak  menerima  atau  menolak  sebagaimana  dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku pada:
a.  penderita  penyakit  yang  penyakitnya  dapat  secara
cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas;
b.  keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau 
c.  gangguan mental berat. 
(3)  Ketentuan  mengenai  hak  menerima  atau  menolak
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  diatur  sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Pasal 57
(1)  Setiap  orang  berhak  atas  rahasia  kondisi  kesehatan
pribadinya  yang  telah  dikemukakan  kepada
penyelenggara pelayanan kesehatan. 
(2)  Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan
pribadi  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  tidak
berlaku dalam hal:
a.  perintah undang-undang;
b.  perintah pengadilan;
c.  izin yang bersangkutan;
d.  kepentingan masyarakat; atau
e.   kepentingan orang tersebut. 





Pasal 58 . . .










- 23 -

Pasal 58
(1)  Setiap  orang  berhak  menuntut  ganti  rugi  terhadap
seseorang,  tenaga  kesehatan,  dan/atau  penyelenggara
kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan
atau  kelalaian  dalam  pelayanan  kesehatan  yang
diterimanya. 
(2)  Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak  berlaku  bagi  tenaga  kesehatan  yang  melakukan
tindakan  penyelamatan  nyawa  atau  pencegahan
kecacatan seseorang dalam keadaan darurat. 
(3)  Ketentuan  mengenai  tata  cara  pengajuan  tuntutan
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  diatur  sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Pelayanan Kesehatan Tradisional

Pasal 59
(1)  Berdasarkan cara pengobatannya, pelayanan kesehatan
tradisional terbagi menjadi:
a.  pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan
keterampilan; dan
b.  pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan
ramuan. 
(2)   Pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud
pada  ayat  (1)  dibina  dan  diawasi  oleh  Pemerintah  agar
dapat  dipertanggungjawabkan  manfaat  dan
keamanannya  serta  tidak  bertentangan  dengan  norma
agama. 
(3)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  tata  cara  dan  jenis
pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 




Pasal 60 . . .










- 24 -


Pasal 60
(1)  Setiap  orang  yang  melakukan  pelayanan  kesehatan
tradisional yang menggunakan alat dan teknologi harus
mendapat izin dari lembaga kesehatan yang berwenang. 
(2)  Penggunaan  alat  dan  teknologi  sebagaimana  dimaksud
pada  ayat  (1)  harus  dapat  dipertanggungjawabkan
manfaat  dan  keamanannya  serta  tidak  bertentangan
dengan norma agama dan kebudayaan masyarakat. 

Pasal 61
(1)  Masyarakat  diberi  kesempatan  yang  seluas-luasnya
untuk  mengembangkan,  meningkatkan  dan
menggunakan  pelayanan  kesehatan  tradisional  yang
dapat  dipertanggungjawabkan  manfaat  dan
keamanannya. 
(2)  Pemerintah  mengatur  dan  mengawasi  pelayanan
kesehatan  tradisional  sebagaimana  dimaksud  pada   
ayat  (1)  dengan  didasarkan  pada  keamanan,
kepentingan, dan perlindungan masyarakat. 

Bagian Keempat
Peningkatan Kesehatan dan Pencegahan Penyakit

Pasal 62
(1)  Peningkatan kesehatan merupakan segala bentuk upaya
yang  dilakukan  oleh  Pemerintah,  pemerintah  daerah,
dan/atau masyarakat untuk mengoptimalkan kesehatan
melalui kegiatan penyuluhan, penyebarluasan informasi,
atau kegiatan lain untuk menunjang tercapainya hidup
sehat. 
(2)  Pencegahan  penyakit  merupakan  segala  bentuk  upaya
yang  dilakukan  oleh  Pemerintah,  pemerintah  daerah,
dan/atau  masyarakat  untuk  menghindari  atau
mengurangi risiko,  masalah, dan dampak buruk akibat
penyakit. 
(3)   Pemerintah . . .










- 25 -

(3)  Pemerintah  dan  pemerintah  daerah  menjamin  dan
menyediakan  fasilitas  untuk  kelangsungan  upaya
peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit. 
(4)  Ketentuan  lebih  lanjut  tentang  upaya  peningkatan
kesehatan  dan  pencegahan  penyakit  diatur  dengan
Peraturan Menteri.

Bagian Kelima
Penyembuhan Penyakit dan Pemulihan Kesehatan

Pasal 63
(1)  Penyembuhan  penyakit  dan  pemulihan  kesehatan
diselenggarakan  untuk  mengembalikan  status
kesehatan, mengembalikan fungsi tubuh akibat penyakit
dan/atau akibat cacat, atau menghilangkan cacat. 
(2)  Penyembuhan  penyakit  dan  pemulihan  kesehatan
dilakukan  dengan  pengendalian,  pengobatan,  dan/atau
perawatan. 
(3)  Pengendalian,  pengobatan,  dan/atau  perawatan  dapat
dilakukan  berdasarkan  ilmu  kedokteran  dan  ilmu
keperawatan  atau  cara  lain  yang  dapat
dipertanggungjawabkan kemanfaatan dan keamanannya. 
(4)  Pelaksanaan  pengobatan  dan/atau  perawatan
berdasarkan  ilmu  kedokteran  atau  ilmu  keperawatan
hanya  dapat  dilakukan  oleh  tenaga  kesehatan  yang
mempunyai keahlian  dan kewenangan untuk itu. 
(5)  Pemerintah  dan  pemerintah  daerah  melakukan
pembinaan  dan  pengawasan  terhadap  pelaksanaan
pengobatan dan/atau perawatan atau berdasarkan cara
lain yang dapat dipertanggungjawabkan. 

Pasal 64
(1)    Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat
dilakukan melalui transplantasi organ dan/atau jaringan
tubuh,  implan  obat  dan/atau  alat  kesehatan,  bedah
plastik dan rekonstruksi, serta penggunaan sel punca. 
(2)   Transplantasi . . .










- 26 -


(2)   Transplantasi  organ  dan/atau  jaringan  tubuh 
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dilakukan  hanya
untuk  tujuan  kemanusiaan  dan  dilarang  untuk
dikomersialkan. 
(3)   Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan
dengan dalih apapun. 

Pasal 65
(1)  Transplantasi  organ  dan/atau  jaringan  tubuh  hanya
dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian  dan  kewenangan  untuk  itu  dan  dilakukan  di
fasilitas pelayanan kesehatan tertentu. 
(2)  Pengambilan  organ  dan/atau  jaringan  tubuh  dari
seorang  donor  harus  memperhatikan  kesehatan
pendonor yang bersangkutan dan mendapat persetujuan
pendonor dan/atau ahli waris atau keluarganya. 
(3)  Ketentuan  mengenai  syarat  dan  tata  cara
penyelenggaraan  transplantasi  organ  dan/atau  jaringan
tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 

Pasal 66
Transplantasi sel, baik yang berasal dari manusia maupun dari
hewan,  hanya  dapat  dilakukan  apabila  telah  terbukti
keamanan dan kemanfaatannya. 

Pasal 67
(1)   Pengambilan  dan  pengiriman  spesimen  atau  bagian
organ  tubuh  hanya  dapat  dilakukan  oleh  tenaga
kesehatan  yang  mempunyai  keahlian  dan  kewenangan
serta dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu. 
(2)   Ketentuan  mengenai  syarat  dan  tata  cara  pengambilan
dan  pengiriman  spesimen  atau  bagian  organ  tubuh
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dilaksanakan
sesuai  dengan  ketentuan  peraturan  perundang-undangan. 
Pasal 68 . . .










- 27 -

Pasal 68
(1)    Pemasangan  implan  obat  dan/atau  alat  kesehatan  ke
dalam  tubuh  manusia  hanya  dapat  dilakukan  oleh
tenaga  kesehatan  yang  mempunyai  keahlian  dan
kewenangan  serta  dilakukan  di  fasilitas  pelayanan
kesehatan tertentu. 
(2)   Ketentuan  mengenai  syarat  dan  tata  cara
penyelenggaraan pemasangan implan obat dan/atau alat
kesehatan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 

Pasal 69
(1)  Bedah  plastik  dan  rekonstruksi  hanya  dapat  dilakukan
oleh  tenaga  kesehatan  yang  mempunyai  keahlian  dan
kewenangan untuk itu. 
(2)  Bedah plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan
dengan norma yang berlaku dalam masyarakat dan tidak
ditujukan untuk mengubah identitas. 
(3)  Ketentuan mengenai syarat dan tata cara bedah plastik
dan  rekonstruksi  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)
dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 

Pasal 70
(1)  Penggunaan  sel  punca  hanya  dapat  dilakukan  untuk
tujuan  penyembuhan  penyakit  dan  pemulihan
kesehatan,  serta  dilarang  digunakan  untuk  tujuan
reproduksi. 
(2)  Sel  punca  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  tidak
boleh berasal dari sel punca embrionik. 
(3)  Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan sel punca
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri. 



Bagian Keenam . . .










- 28 -


Bagian Keenam
Kesehatan Reproduksi 

Pasal 71 
(1)  Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara
fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata
bebas  dari  penyakit  atau  kecacatan  yang  berkaitan
dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan. 
(2)  Kesehatan  reproduksi  sebagaimana  dimaksud  pada   
ayat (1) meliputi: 
a.   saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah
melahirkan; 
b.  pengaturan  kehamilan,  alat  konstrasepsi,  dan
kesehatan seksual; dan
c.   kesehatan sistem reproduksi. 
(3)  Kesehatan  reproduksi  sebagaimana  dimaksud  pada   
ayat  (2)  dilaksanakan  melalui  kegiatan  promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif. 

Pasal 72
Setiap orang berhak:
a.  menjalani  kehidupan  reproduksi  dan  kehidupan  seksual
yang  sehat,  aman,  serta  bebas  dari  paksaan  dan/atau
kekerasan dengan pasangan yang sah. 
b.  menentukan  kehidupan  reproduksinya  dan  bebas  dari
diskriminasi,  paksaan,  dan/atau  kekerasan  yang
menghormati  nilai-nilai  luhur  yang  tidak  merendahkan
martabat manusia sesuai dengan norma agama. 
c.  menentukan  sendiri  kapan  dan  berapa  sering  ingin
bereproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan
dengan norma agama.  
d.  memperoleh  informasi,  edukasi,  dan  konseling  mengenai
kesehatan  reproduksi  yang  benar  dan  dapat
dipertanggungjawabkan. 

Pasal 73 . . .










- 29 -

Pasal 73
Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan
sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu,
dan terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana. 

Pasal 74
(1)  Setiap  pelayanan  kesehatan  reproduksi  yang  bersifat
promotif,  preventif,  kuratif,  dan/atau  rehabilitatif,
termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan secara
aman  dan  sehat  dengan  memperhatikan  aspek-aspek
yang khas, khususnya reproduksi perempuan. 
(2)  Pelaksanaan  pelayanan  kesehatan  reproduksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
tidak  bertentangan  dengan  nilai  agama  dan  ketentuan
peraturan perundang-undangan. 
(3)  Ketentuan  mengenai  reproduksi  dengan  bantuan
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1),  diatur  dengan
Peraturan Pemerintah. 

Pasal 75
(1)  Setiap orang dilarang melakukan aborsi. 
(2)   Larangan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dapat
dikecualikan berdasarkan: 
a.  indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia
dini  kehamilan,  baik  yang  mengancam  nyawa  ibu
dan/atau  janin,  yang  menderita  penyakit  genetik
berat  dan/atau  cacat  bawaan,  maupun  yang  tidak
dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut
hidup di luar kandungan; atau
b.   kehamilan  akibat  perkosaan  yang  dapat
menyebabkan  trauma  psikologis  bagi  korban
perkosaan.



(3)   Tindakan . . .










- 30 -


(3)   Tindakan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2)  hanya
dapat  dilakukan  setelah  melalui  konseling  dan/atau
penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling
pasca  tindakan  yang  dilakukan  oleh  konselor  yang
kompeten dan berwenang. 
(4)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  indikasi  kedaruratan
medis  dan  perkosaan,  sebagaimana  dimaksud  pada   
ayat  (2)  dan  ayat  (3)  diatur  dengan  Peraturan
Pemerintah. 


Pasal 76
Aborsi  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  75  hanya  dapat
dilakukan: 
a.  sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari
hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan
medis;
b.  oleh  tenaga  kesehatan  yang  memiliki  keterampilan  dan
kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh
menteri;
c.  dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d.  dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e.   penyedia  layanan  kesehatan  yang  memenuhi  syarat  yang
ditetapkan oleh Menteri.


Pasal 77
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari
aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan
ayat  (3)  yang  tidak  bermutu,  tidak  aman,  dan  tidak
bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama
dan ketentuan peraturan perundang-undangan. 



Bagian Ketujuh . . .










- 31 -

Bagian Ketujuh
Keluarga Berencana

Pasal 78
(1)  Pelayanan  kesehatan  dalam  keluarga  berencana
dimaksudkan  untuk  pengaturan  kehamilan  bagi
pasangan  usia  subur  untuk  membentuk  generasi
penerus yang sehat dan cerdas. 
(2)  Pemerintah  bertanggung  jawab  dan  menjamin
ketersediaan  tenaga,  fasilitas  pelayanan,  alat  dan  obat
dalam memberikan pelayanan keluarga berencana yang
aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat. 
(3)  Ketentuan  mengenai  pelayanan  keluarga  berencana
dilaksanakan  sesuai  dengan  peraturan  perundang-undangan. 


Bagian Kedelapan
Kesehatan Sekolah

Pasal 79
(1)  Kesehatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan
kemampuan hidup sehat peserta didik dalam lingkungan
hidup  sehat  sehingga  peserta  didik  dapat  belajar,
tumbuh, dan berkembang secara harmonis dan setinggi-tingginya  menjadi  sumber  daya  manusia  yang
berkualitas. 
(2)  Kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan  melalui  sekolah  formal  dan  informal
atau melalui lembaga pendidikan lain. 
(3)  Ketentuan  mengenai  kesehatan  sekolah  sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah. 



Bagian Kesembilan  . . .










- 32 -


Bagian  Kesembilan
Kesehatan Olahraga

Pasal 80
(1)  Upaya  kesehatan  olahraga  ditujukan  untuk
meningkatkan  kesehatan  dan  kebugaran  jasmani
masyarakat. 
(2)  Peningkatan  derajat  kesehatan  dan  kebugaran  jasmani
masyarakat  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)
merupakan  upaya  dasar  dalam  meningkatkan  prestasi
belajar, kerja, dan olahraga. 
(3)  Upaya kesehatan olahraga sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan melalui aktifitas fisik, latihan fisik,
dan/atau olahraga. 

Pasal 81
(1)  Upaya  kesehatan  olahraga  lebih  mengutamakan
pendekatan  preventif  dan  promotif,  tanpa  mengabaikan
pendekatan kuratif dan rehabilitatif. 
(2)  Penyelenggaraan  upaya  kesehatan  olahraga
diselenggarakan  oleh  Pemerintah,  pemerintah  daerah,
dan masyarakat. 

Bagian  Kesepuluh
Pelayanan Kesehatan Pada Bencana

Pasal 82
(1)  Pemerintah,  pemerintah  daerah,  dan  masyarakat
bertanggung  jawab  atas  ketersediaan  sumber  daya,
fasilitas,  dan  pelaksanaan  pelayanan  kesehatan  secara
menyeluruh dan berkesinambungan pada bencana. 
(2)  Pelayanan  kesehatan  sebagaimana  dimaksud  pada   
ayat  (1)  meliputi    pelayanan  kesehatan  pada  tanggap
darurat dan pascabencana. 
(3)   Pelayanan . . .










- 33 -

(3)  Pelayanan  kesehatan  sebagaimana  dimaksud  pada   
ayat  (2)  mencakup  pelayanan  kegawatdaruratan  yang
bertujuan  untuk  menyelamatkan  nyawa  dan  mencegah
kecacatan lebih lanjut. 
(4)  Pemerintah menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 
(5)  Pembiayaan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (4)
bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara
(APBN),  anggaran  pendapatan  dan  belanja  daerah
(APBD),  atau  bantuan  masyarakat  sesuai  dengan
peraturan perundang-undangan. 

Pasal 83
(1)  Setiap  orang  yang  memberikan  pelayanan  kesehatan
pada  bencana  harus  ditujukan  untuk  penyelamatan
nyawa,  pencegahan  kecacatan  lebih  lanjut,  dan
kepentingan terbaik bagi pasien. 
(2)  Pemerintah  menjamin  perlindungan  hukum  bagi  setiap
orang  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki. 

Pasal 84
Ketentuan  lebih  lanjut  tentang  penyelenggaraan  pelayanan
kesehatan pada bencana diatur dengan Peraturan Menteri. 

  Pasal 85
(1)  Dalam  keadaan  darurat,  fasilitas  pelayanan  kesehatan,
baik  pemerintah  maupun  swasta  wajib  memberikan
pelayanan  kesehatan  pada  bencana  bagi  penyelamatan
nyawa pasien dan pencegahan kecacatan. 
(2)  Fasilitas  pelayanan  kesehatan  dalam  memberikan
pelayanan  kesehatan  pada  bencana  sebagaimana
dimaksud  pada  ayat  (1)  dilarang  menolak  pasien
dan/atau meminta uang muka terlebih dahulu. 


Bagian Kesebelas . . .










- 34 -


Bagian Kesebelas
Pelayanan Darah 

Pasal 86
(1)  Pelayanan darah merupakan upaya pelayanan kesehatan
yang memanfaatkan darah manusia sebagai bahan dasar
dengan  tujuan  kemanusiaan  dan  tidak  untuk  tujuan
komersial. 
(2)  Darah  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  diperoleh
dari pendonor darah sukarela yang sehat dan memenuhi
kriteria  seleksi  pendonor  dengan  mengutamakan
kesehatan pendonor. 
(3)  Darah  yang  diperoleh  dari  pendonor  darah  sukarela
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebelum digunakan
untuk  pelayanan  darah  harus  dilakukan  pemeriksaan
laboratorium guna mencegah penularan penyakit. 

Pasal 87
(1)  Penyelenggaraan  donor  darah  dan  pengolahan  darah
dilakukan oleh Unit Transfusi Darah. 
(2)  Unit  Transfusi  Darah  sebagaimana  dimaksud  pada   
ayat  (1)  dapat  diselenggarakan  oleh  Pemerintah,
pemerintah  daerah,  dan/atau  organisasi  sosial  yang
tugas pokok dan fungsinya di bidang kepalangmerahan. 

Pasal 88
(1)  Pelayanan  transfusi  darah  meliputi  perencanaan,
pengerahan  pendonor  darah,  penyediaan,
pendistribusian  darah,  dan  tindakan  medis  pemberian
darah  kepada  pasien  untuk  tujuan  penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan. 
(2)  Pelaksanaan  pelayanan  transfusi  darah  dilakukan
dengan  menjaga  keselamatan  dan  kesehatan  penerima
darah  dan  tenaga  kesehatan  dari  penularan  penyakit
melalui transfusi darah. 
Pasal 89 . . .










- 35 -

Pasal 89
Menteri mengatur standar dan persyaratan pengelolaan darah
untuk pelayanan transfusi darah. 

Pasal 90
(1)   Pemerintah  bertanggung  jawab  atas  pelaksanaan
pelayanan darah yang aman, mudah diakses, dan sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. 
(2)  Pemerintah  menjamin  pembiayaan  dalam
penyelenggaraan pelayanan darah. 
(3)   Darah dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun. 

Pasal 91
(1)  Komponen  darah  dapat  digunakan  untuk  tujuan
penyembuhan  penyakit  dan  pemulihan  kesehatan
melalui proses pengolahan dan produksi. 
(2)  Hasil  proses  pengolahan  dan  produksi  sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikendalikan oleh Pemerintah. 

Pasal 92
Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  pelayanan  darah  diatur
dengan Peraturan Pemerintah. 

Bagian Kedua Belas
Kesehatan Gigi dan Mulut

Pasal 93
(1)  Pelayanan  kesehatan  gigi  dan  mulut  dilakukan  untuk
memelihara  dan  meningkatkan  derajat  kesehatan
masyarakat  dalam  bentuk  peningkatan  kesehatan  gigi,
pencegahan penyakit gigi,  pengobatan penyakit gigi, dan
pemulihan  kesehatan  gigi  oleh  Pemerintah,  pemerintah
daerah,  dan/atau  masyarakat  yang  dilakukan  secara
terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan. 
(2)   Kesehatan . . .










- 36 -


(2)  Kesehatan gigi dan mulut sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan melalui pelayanan kesehatan gigi
perseorangan,  pelayanan  kesehatan  gigi  masyarakat,
usaha kesehatan gigi sekolah. 

Pasal 94
Pemerintah  dan  pemerintah  daerah  wajib  menjamin
ketersediaan  tenaga,  fasilitas  pelayanan,  alat  dan  obat
kesehatan  gigi  dan  mulut  dalam  rangka  memberikan
pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang aman, bermutu, dan
terjangkau oleh masyarakat. 


Bagian Ketiga Belas
Penanggulangan Gangguan Penglihatan 
dan Gangguan Pendengaran 
  
Pasal 95
(1)  Penanggulangan  gangguan  penglihatan  dan  gangguan
pendengaran merupakan semua kegiatan yang dilakukan
meliputi  pelayanan  promotif,  preventif,  kuratif,  dan
rehabilitatif yang ditujukan untuk meningkatkan derajat
kesehatan  indera  penglihatan,  dan  pendengaran
masyarakat. 
(2)  Penyelenggaraan  kegiatan  sebagaimana  dimaksud  pada
ayat  (1)  menjadi  tanggung  jawab  bersama  Pemerintah,
pemerintah daerah,  dan masyarakat. 

Pasal 96
Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  penanggulangan  gangguan
penglihatan  dan  pendengaran  diatur  dengan  Peraturan
Menteri. 




Bagian Keempat Belas . . .










- 37 -

Bagian Keempat Belas
Kesehatan Matra

Pasal 97
(1)  Kesehatan  matra  sebagai  bentuk  khusus  upaya
kesehatan  diselenggarakan  untuk  mewujudkan  derajat
kesehatan  yang  setinggi-tingginya  dalam  lingkungan
matra yang serba berubah maupun di lingkungan darat,
laut, dan udara. 
(2)  Kesehatan  matra  meliputi  kesehatan  lapangan,
kesehatan  kelautan  dan  bawah  air,  serta  kesehatan
kedirgantaraan. 
(3)  Penyelenggaraan  kesehatan  matra  harus  dilaksanakan
sesuai dengan standar dan persyaratan. 
(4)  Ketentuan  mengenai  kesehatan  matra  sebagaimana
dimaksud  dalam  pasal  ini  diatur  dengan  Peraturan
Menteri. 

Bagian Kelima Belas
Pengamanan dan Penggunaan 
Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

Pasal 98
(1)  Sediaan  farmasi  dan  alat  kesehatan  harus  aman,
berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau.
(2)  Setiap  orang  yang  tidak  memiliki  keahlian  dan
kewenangan  dilarang  mengadakan,  menyimpan,
mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan
bahan yang berkhasiat obat. 
(3)  Ketentuan  mengenai  pengadaan,  penyimpanan,
pengolahan,  promosi,  pengedaran  sediaan  farmasi  dan
alat  kesehatan  harus  memenuhi  standar  mutu
pelayanan  farmasi  yang  ditetapkan  dengan  Peraturan
Pemerintah. 
(4) Pemerintah . . .










- 38 -


(4)  Pemerintah  berkewajiban  membina,  mengatur,
mengendalikan,  dan  mengawasi  pengadaan,
penyimpanan,  promosi,  dan  pengedaran  sebagaimana
dimaksud pada ayat (3). 

Pasal 99
(1)  Sumber sediaan farmasi yang berasal dari alam semesta
dan  sudah  terbukti  berkhasiat  dan  aman  digunakan
dalam  pencegahan,  pengobatan,  dan/atau  perawatan,
serta  pemeliharaan  kesehatan  tetap  harus  dijaga
kelestariannya.
(2)  Masyarakat  diberi  kesempatan  yang  seluas-luasnya
untuk  mengolah,  memproduksi,  mengedarkan,
mengembangkan,  meningkatkan,  dan  menggunakan
sediaan  farmasi  yang  dapat  dipertanggungjawabkan
manfaat dan keamanannya.
(3)  Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan
sediaan farmasi.

Pasal 100
(1)  Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat
dan  aman  digunakan  dalam  pencegahan,  pengobatan,
perawatan,  dan/atau  pemeliharaan  kesehatan  tetap
dijaga kelestariannya. 
(2)  Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan
bahan baku obat tradisional .

Pasal 101
(1)  Masyarakat  diberi  kesempatan  yang  seluas-luasnya
untuk  mengolah,  memproduksi,  mengedarkan,
mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat
tradisional  yang  dapat  dipertanggungjawabkan  manfaat
dan keamanannya.

(2)    Ketentuan . . .










- 39 -

(2)  Ketentuan  mengenai  mengolah,  memproduksi,
mengedarkan,  mengembangkan,  meningkatkan,  dan
menggunakan obat tradisional diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 102
(1)  Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan
psikotropika  hanya  dapat  dilakukan  berdasarkan  resep
dokter  atau  dokter  gigi  dan  dilarang  untuk
disalahgunakan. 
(2)  Ketentuan  mengenai  narkotika  dan  psikotropika
dilaksanakan  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan
perundang-undangan. 

Pasal 103
(1)  Setiap  orang  yang  memproduksi,  menyimpan,
mengedarkan,  dan  menggunakan  narkotika  dan
psikotropika  wajib  memenuhi  standar  dan/atau
persyaratan tertentu.  
(2)  Ketentuan mengenai produksi, penyimpanan, peredaran,
serta  penggunaan  narkotika  dan  psikotropika
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dilaksanakan
sesuai  dengan  ketentuan  peraturan  perundang-undangan.

Pasal 104
(1)  Pengamanan  sediaan  farmasi  dan  alat  kesehatan
diselenggarakan  untuk  melindungi  masyarakat  dari
bahaya  yang  disebabkan  oleh  penggunaan  sediaan
farmasi  dan  alat  kesehatan  yang  tidak  memenuhi
persyaratan  mutu  dan/atau  keamanan  dan/atau
khasiat/kemanfaatan.
(2)  Penggunaan obat dan obat tradisional  harus dilakukan
secara rasional.


Pasal 105 . . .










- 40 -


Pasal 105
(1)  Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat
harus memenuhi syarat farmakope Indonesia atau buku
standar lainnya.
(2)  Sediaan  farmasi  yang  berupa  obat  tradisional  dan
kosmetika serta alat kesehatan harus memenuhi standar
dan/atau persyaratan yang ditentukan.

Pasal 106
(1)  Sediaan  farmasi  dan  alat  kesehatan  hanya  dapat
diedarkan setelah mendapat izin edar.
(2)  Penandaan  dan  informasi  sediaan  farmasi  dan  alat
kesehatan harus memenuhi persyaratan objektivitas dan
kelengkapan serta tidak menyesatkan.
(3)  Pemerintah  berwenang  mencabut  izin  edar  dan
memerintahkan  penarikan  dari  peredaran  sediaan
farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin
edar,  yang  kemudian  terbukti  tidak  memenuhi
persyaratan  mutu  dan/atau  keamanan  dan/atau
kemanfaatan,  dapat  disita  dan  dimusnahkan  sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 107
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan sediaan farmasi
dan  alat  kesehatan  dilaksanakan  sesuai  dengan  ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 108
(1)  Praktik  kefarmasiaan  yang  meliputi  pembuatan
termasuk  pengendalian  mutu  sediaan  farmasi,
pengamanan,  pengadaan,  penyimpanan  dan
pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan  informasi  obat  serta  pengembangan  obat,
bahan  obat  dan  obat  tradisional  harus  dilakukan  oleh
tenaga  kesehatan  yang  mempunyai  keahlian  dan
kewenangan  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan
perundang-undangan.
(2)   Ketentuan . . .










- 41 -

(2)  Ketentuan  mengenai  pelaksanaan  praktik  kefarmasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam Belas
Pengamanan Makanan dan Minuman

Pasal 109
Setiap  orang  dan/atau  badan  hukum  yang  memproduksi,
mengolah,  serta  mendistribusikan  makanan  dan  minuman
yang  diperlakukan  sebagai  makanan  dan  minuman  hasil
teknologi  rekayasa  genetik  yang  diedarkan  harus  menjamin
agar aman bagi  manusia, hewan yang dimakan manusia, dan
lingkungan. 

Pasal 110
Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi dan
mempromosikan  produk  makanan  dan  minuman  dan/atau
yang  diperlakukan  sebagai  makanan  dan  minuman  hasil
olahan  teknologi  dilarang  menggunakan  kata-kata  yang
mengecoh  dan/atau  yang  disertai  klaim  yang  tidak  dapat
dibuktikan kebenarannya. 

Pasal 111
(1)   Makanan  dan  minuman  yang  dipergunakan  untuk
masyarakat  harus  didasarkan  pada  standar  dan/atau
persyaratan kesehatan. 
(2)  Makanan dan minuman hanya dapat diedarkan setelah
mendapat izin edar sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. 
(3)  Setiap  makanan  dan  minuman  yang  dikemas  wajib
diberi tanda atau label yang berisi:
a.  Nama produk;   
b.  Daftar bahan yang digunakan;
c.  Berat bersih atau isi bersih;

d.   Nama . . .










- 42 -


d.  Nama  dan  alamat  pihak  yang  memproduksi  atau
memasukan  makanan  dan  minuman  kedalam
wilayah Indonesia; dan
e.  Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa. 
(4)  Pemberian tanda atau label sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilakukan secara benar dan akurat. 
(5)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  tata  cara  pemberian
label  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (3)  dilakukan
sesuai  dengan  ketentuan  peraturan  perundang-undangan. 
(6)  Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan
standar,  persyaratan  kesehatan,  dan/atau
membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat  (1)  dilarang  untuk  diedarkan,  ditarik  dari
peredaran,  dicabut  izin  edar  dan  disita  untuk
dimusnahkan  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan
perundang-undangan. 

Pasal 112
Pemerintah berwenang dan bertanggung jawab mengatur dan
mengawasi  produksi,  pengolahan,  pendistribusian  makanan,
dan  minuman  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  109,   
Pasal 110, dan Pasal 111. 

Bagian Ketujuh Belas
Pengamanan Zat Adiktif

Pasal 113
(1)  Pengamanan  penggunaan  bahan  yang  mengandung  zat
adiktif  diarahkan  agar  tidak  mengganggu  dan
membahayakan  kesehatan  perseorangan,  keluarga,
masyarakat, dan lingkungan. 
(2)  Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat,
cairan,  dan  gas  yang  bersifat  adiktif  yang
penggunaannya  dapat  menimbulkan  kerugian  bagi
dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.
(3)  Produksi,  peredaran,  dan  penggunaan  bahan  yang
mengandung  zat  adiktif  harus  memenuhi  standar
dan/atau persyaratan yang ditetapkan.
Pasal 114 . . .










- 43 -

Pasal 114
Setiap  orang  yang memproduksi  atau memasukkan  rokok  ke
wilayah Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan. 

Pasal 115
(1)  Kawasan tanpa rokok antara lain:
a.  fasilitas pelayanan kesehatan;
b.  tempat proses belajar mengajar;
c.  tempat anak bermain;
d.  tempat ibadah;
e.  angkutan umum; 
f.  tempat kerja; dan
g.  tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.
(2)  Pemerintah  daerah  wajib  menetapkan  kawasan  tanpa
rokok di wilayahnya. 

Pasal 116
Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  pengamanan  bahan  yang
mengandung  zat  adiktif  ditetapkan  dengan  Peraturan
Pemerintah.

Bagian Kedelapan Belas
Bedah Mayat

Pasal 117
Seseorang  dinyatakan  mati  apabila  fungsi  sistem  jantung-sirkulasi dan sistem pernafasan terbukti telah berhenti secara
permanen,  atau  apabila  kematian  batang  otak  telah  dapat
dibuktikan. 

Pasal 118
(1)  Mayat  yang  tidak  dikenal  harus  dilakukan  upaya
identifikasi. 

(2)   Pemerintah . . .










- 44 -


(2)  Pemerintah,  pemerintah  daerah,  dan  masyarakat
bertanggung jawab atas upaya identifikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1). 
(3)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  upaya  identifikasi
mayat  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  diatur
dengan Peraturan Menteri. 

Pasal 119
(1)  Untuk  kepentingan  penelitian  dan  pengembangan
pelayanan  kesehatan  dapat  dilakukan  bedah  mayat
klinis di rumah sakit. 
(2)  Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditujukan  untuk  menegakkan  diagnosis  dan/atau
menyimpulkan penyebab kematian. 
(3)  Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan  atas  persetujuan  tertulis  pasien  semasa
hidupnya  atau  persetujuan  tertulis  keluarga  terdekat
pasien. 
(4)  Dalam hal pasien diduga meninggal akibat penyakit yang
membahayakan  masyarakat  dan  bedah  mayat  klinis
mutlak  diperlukan  untuk  menegakkan  diagnosis
dan/atau  penyebab  kematiannya,  tidak  diperlukan
persetujuan. 

Pasal 120
(1)  Untuk  kepentingan  pendidikan  di  bidang  ilmu
kedokteran dan biomedik dapat dilakukan bedah mayat
anatomis  di  rumah  sakit  pendidikan  atau  di  institusi
pendidikan kedokteran. 
(2)  Bedah  mayat  anatomis  sebagaimana  dimaksud  pada  
ayat  (1)  hanya  dapat  dilakukan  terhadap  mayat  yang
tidak  dikenal  atau  mayat  yang  tidak  diurus  oleh
keluarganya,  atas  persetujuan  tertulis  orang  tersebut
semasa hidupnya atau persetujuan tertulis keluarganya.  
(3)   Mayat . . .










- 45 -

(3)  Mayat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus telah
diawetkan, dipublikasikan untuk dicarikan keluarganya,
dan disimpan sekurang-kurangnya  1 (satu) bulan sejak
kematiannya. 
(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai bedah mayat anatomis
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1),  ayat  (2),  dan   
ayat (3) diatur dengan  Peraturan Menteri. 

Pasal 121
(1)  Bedah  mayat  klinis  dan  bedah  mayat  anatomis  hanya
dapat dilakukan oleh dokter sesuai dengan keahlian dan
kewenangannya. 
(2)  Dalam hal pada saat melakukan bedah mayat klinis dan 
bedah mayat anatomis ditemukan adanya dugaan tindak
pidana,  tenaga  kesehatan  wajib  melaporkan  kepada
penyidik sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 

Pasal 122
(1)  Untuk kepentingan  penegakan hukum  dapat dilakukan
bedah  mayat  forensik  sesuai  dengan  ketentuan
peraturan perundang-undangan. 
(2)  Bedah  mayat  forensik  sebagaimana  dimaksud  pada  
ayat  (1)  dilakukan  oleh  dokter  ahli  forensik,  atau  oleh
dokter  lain  apabila  tidak  ada  dokter  ahli  forensik  dan
perujukan  ke  tempat  yang  ada  dokter  ahli  forensiknya
tidak dimungkinkan. 
(3)  Pemerintah  dan  pemerintah  daerah  bertanggung  jawab
atas  tersedianya  pelayanan  bedah  mayat  forensik  di
wilayahnya. 
(4)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  pelaksanaan  bedah
mayat forensik diatur dengan Peraturan Menteri. 




Pasal 123 . . .










- 46 -


Pasal 123
(1)  Pada tubuh yang telah terbukti mati batang otak dapat
dilakukan  tindakan  pemanfaatan  organ  sebagai  donor
untuk kepentingan transplantasi organ. 
(2)  Tindakan  pemanfaatan  organ  donor  sebagaimana
dimaksud  pada  ayat  (1)  harus  memenuhi  ketentuan
peraturan perundang-undangan. 
(3)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  penentuan  kematian
dan  pemanfaatan  organ  donor  sebagaimana  dimaksud
pada  ayat  (1)  dan  ayat  (2)  diatur  dengan  Peraturan
Menteri. 

Pasal 124
Tindakan bedah mayat oleh tenaga kesehatan harus dilakukan
sesuai  dengan  norma  agama,  norma  kesusilaan,  dan  etika
profesi. 

Pasal 125
Biaya pemeriksaan kesehatan terhadap korban tindak pidana
dan/atau  pemeriksaan  mayat  untuk  kepentingan  hukum
ditanggung oleh pemerintah melalui APBN dan APBD. 


BAB VII
KESEHATAN IBU, BAYI, ANAK, 
REMAJA, LANJUT USIA, DAN PENYANDANG CACAT

Bagian Kesatu 
Kesehatan ibu, bayi, dan anak

Pasal 126 
 (1)   Upaya  kesehatan  ibu  harus  ditujukan  untuk  menjaga
kesehatan  ibu  sehingga  mampu  melahirkan  generasi
yang  sehat  dan  berkualitas  serta  mengurangi  angka
kematian ibu.
(2)   Upaya . . .










- 47 -

(2)   Upaya  kesehatan  ibu  sebagaimana  dimaksud  pada   
ayat  (1)  meliputi  upaya  promotif,  preventif,  kuratif  dan
rehabilitatif.
(3)   Pemerintah menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas, alat
dan  obat  dalam  penyelenggaraan  pelayanan  kesehatan
ibu secara aman, bermutu, dan terjangkau.
(4)   Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  pelayanan  kesehatan
ibu diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal  127
(1)  Upaya  kehamilan  di  luar  cara  alamiah  hanya  dapat
dilakukan  oleh  pasangan  suami  istri  yang  sah  dengan
ketentuan:
a.  hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri
yang  bersangkutan  ditanamkan  dalam  rahim  istri
dari mana ovum berasal; 
b.  dilakukan  oleh  tenaga  kesehatan  yang  mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu; dan
c.  pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2)  Ketentuan mengenai persyaratan kehamilan di luar cara
alamiah  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 128
(1)   Setiap  bayi  berhak  mendapatkan  air  susu  ibu
eksklusif  sejak  dilahirkan  selama  6  (enam)  bulan,
kecuali atas indikasi medis.
(2)   Selama  pemberian  air  susu  ibu,  pihak  keluarga,
Pemerintah,  pemerintah  daerah,  dan  masyarakat
harus  mendukung  ibu  bayi  secara  penuh  dengan
penyediaan waktu dan fasilitas khusus.
(3)   Penyediaan  fasilitas  khusus  sebagaimana  dimaksud
pada  ayat  (2)  diadakan  di  tempat  kerja  dan  tempat
sarana umum.

Pasal 129 . . .










- 48 -


Pasal 129
(1)  Pemerintah  bertanggung  jawab  menetapkan  kebijakan
dalam  rangka  menjamin  hak  bayi  untuk  mendapatkan
air susu ibu secara eksklusif.
(2)   Ketentuan  lebih  lanjut  sebagaimana  dimaksud  pada  
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 130
Pemerintah  wajib  memberikan  imunisasi  lengkap  kepada
setiap bayi dan anak.

Pasal 131
(1)  Upaya  pemeliharaan  kesehatan  bayi  dan  anak  harus
ditujukan  untuk  mempersiapkan  generasi  yang  akan
datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta untuk
menurunkan angka kematian bayi dan anak.
(2)  Upaya  pemeliharaan  kesehatan  anak  dilakukan  sejak
anak  masih  dalam  kandungan,  dilahirkan,  setelah
dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan belas) tahun. 
(3)  Upaya  pemeliharaan  kesehatan  bayi  dan  anak
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dan  ayat  (2)
menjadi  tanggung  jawab  dan  kewajiban  bersama  bagi
orang  tua,  keluarga,  masyarakat,  dan  Pemerintah,  dan
pemerintah daerah.

Pasal 132
(1)   Anak  yang  dilahirkan  wajib  dibesarkan  dan  diasuh
secara bertanggung jawab sehingga memungkinkan anak
tumbuh dan berkembang secara sehat dan optimal.
(2)   Ketentuan mengenai anak yang dilahirkan sebagaimana
dimaksud  pada  ayat  (1)  dilaksanakan  sesuai  dengan
peraturan perundang-undangan.
(3)   Setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai
dengan  ketentuan  yang  berlaku  untuk  mencegah
terjadinya  penyakit  yang  dapat  dihindari  melalui
imunisasi.
(4)   Ketentuan . . .










- 49 -

(4)   Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  jenis-jenis  imunisasi
dasar  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (3)  ditetapkan
dengan Peraturan Menteri.

Pasal 133
(1)  Setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar
dari  segala  bentuk  diskriminasi  dan  tindak  kekerasan
yang dapat mengganggu kesehatannya.
(2)  Pemerintah,  pemerintah  daerah,  dan  masyarakat
berkewajiban  untuk  menjamin  terselenggaranya
perlindungan  bayi  dan  anak  sebagaimana  dimaksud
pada  ayat  (1)  dan  menyediakan  pelayanan  kesehatan
sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 134
(1)  Pemerintah berkewajiban menetapkan standar dan/atau
kriteria  terhadap  kesehatan  bayi  dan  anak  serta
menjamin  pelaksanaannya  dan  memudahkan  setiap
penyelenggaraan terhadap standar dan kriteria tersebut.
(2)  Standar dan/atau kriteria sebagaimana dimaksud pada
ayat  (1)  harus  diselenggarakan  sesuai  dengan
pertimbangan  moral,  nilai  agama,  dan  berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 135
 (1)  Pemerintah,  pemerintah  daerah,  dan  masyarakat  wajib
menyediakan  tempat  dan  sarana  lain  yang  diperlukan
untuk bermain anak yang memungkinkan anak tumbuh
dan  berkembang  secara  optimal  serta  mampu
bersosialisasi secara sehat.
(2)  Tempat  bermain  dan  sarana  lain  yang  diperlukan
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  wajib  dilengkapi
sarana  perlindungan  terhadap  risiko  kesehatan  agar
tidak membahayakan kesehatan anak.

Bagian Kedua . . .










- 50 -


Bagian Kedua
Kesehatan Remaja

Pasal 136
(1)  Upaya pemeliharaan kesehatan remaja harus ditujukan
untuk mempersiapkan menjadi orang dewasa yang sehat
dan produktif, baik sosial maupun ekonomi.
(2)  Upaya  pemeliharaan  kesehatan  remaja  sebagaimana
dimaksud  pada  ayat  (1)  termasuk  untuk  reproduksi
remaja dilakukan agar terbebas dari berbagai gangguan
kesehatan  yang  dapat  menghambat  kemampuan
menjalani kehidupan reproduksi secara sehat.
(3)  Upaya  pemeliharaan  kesehatan  remaja  sebagaimana
dimaksud  pada  ayat  (1)  dilakukan  oleh  Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat.

Pasal 137
(1)  Pemerintah  berkewajiban  menjamin  agar  remaja  dapat
memperoleh  edukasi,  informasi,  dan  layanan  mengenai
kesehatan  remaja  agar  mampu  hidup  sehat  dan
bertanggung jawab.
(2)  Ketentuan  mengenai  kewajiban  Pemerintah  dalam
menjamin  agar  remaja  memperoleh  edukasi,  informasi
dan  layanan  mengenai  kesehatan  sebagaimana
dimaksud  pada  ayat  (1)  dilaksanakan  sesuai  dengan
pertimbangan  moral  nilai  agama  dan  berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Kesehatan Lanjut Usia dan Penyandang Cacat

Pasal 138
(1)  Upaya  pemeliharaan  kesehatan  bagi  lanjut  usia  harus
ditujukan  untuk  menjaga  agar  tetap  hidup  sehat  dan
produktif secara sosial maupun ekonomis sesuai dengan
martabat kemanusiaan.
(2)   Pemerintah . . .










- 51 -

(2)  Pemerintah  wajib  menjamin  ketersediaan  fasilitas
pelayanan kesehatan dan memfasilitasi kelompok lanjut
usia  untuk  dapat  tetap  hidup  mandiri  dan  produktif
secara sosial dan ekonomis.

Pasal 139
(1)  Upaya pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus
ditujukan  untuk  menjaga  agar  tetap  hidup  sehat  dan
produktif secara sosial, ekonomis, dan bermartabat.
(2)  Pemerintah  wajib  menjamin  ketersediaan  fasilitas
pelayanan  kesehatan  dan  memfasilitasi  penyandang
cacat  untuk  dapat  tetap  hidup  mandiri  dan  produktif
secara sosial dan ekonomis.

Pasal 140
Upaya  pemeliharaan  kesehatan  bagi  lanjut  usia  dan
penyandang  cacat  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  138
dan Pasal 139 dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau masyarakat.


BAB VIII
GIZI

Pasal 141
(1)  Upaya  perbaikan  gizi  masyarakat  ditujukan  untuk
peningkatan mutu gizi perseorangan dan masyarakat.
(2)  Peningkatan  mutu  gizi  sebagaimana  dimaksud  pada  
ayat (1) dilakukan melalui :
a.  perbaikan  pola  konsumsi  makanan  yang  sesuai
dengan gizi seimbang;
b.  perbaikan  perilaku  sadar  gizi,  aktivitas  fisik,  dan
kesehatan;
c.  peningkatan  akses  dan  mutu  pelayanan  gizi  yang
sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi; dan
d.  peningkatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi.
(3)   Pemerintah . . .










- 52 -


(3)  Pemerintah,  pemerintah  daerah,  dan/atau  masyarakat
bersama-sama  menjamin  tersedianya  bahan  makanan
yang mempunyai nilai gizi yang tinggi secara merata dan
terjangkau.
(4)  Pemerintah berkewajiban menjaga agar bahan makanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memenuhi standar
mutu gizi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.  
(5)  Penyediaan  bahan  makanan  sebagaimana  dimaksud
pada  ayat  (1)  dilakukan  secara  lintas  sektor  dan
antarprovinsi, antarkabupaten atau antarkota.

Pasal 142
(1)  Upaya  perbaikan  gizi  dilakukan  pada  seluruh  siklus
kehidupan sejak dalam kandungan sampai dengan lanjut
usia dengan prioritas kepada kelompok rawan:
a.   bayi dan balita;
b.   remaja perempuan; dan
c.   ibu hamil dan menyusui.
(2)  Pemerintah  bertanggung  jawab  menetapkan  standar
angka  kecukupan  gizi,  standar  pelayanan  gizi,  dan
standar tenaga gizi pada berbagai tingkat pelayanan.
(3)  Pemerintah  bertanggung  jawab  atas  pemenuhan
kecukupan gizi pada keluarga miskin dan dalam situasi
darurat.
(4)  Pemerintah bertanggung jawab terhadap pendidikan dan
informasi yang benar tentang gizi kepada masyarakat. 
(5)  Pemerintah,  pemerintah  daerah,  dan  masyarakat
melakukan upaya untuk mencapai status gizi yang baik.

Pasal 143
Pemerintah  bertanggung  jawab  meningkatkan  pengetahuan
dan  kesadaran  masyarakat  akan  pentingnya  gizi  dan
pengaruhnya terhadap peningkatan status gizi.

BAB IX . . .










- 53 -

BAB IX
KESEHATAN JIWA

Pasal 144
(1)  Upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap
orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat,
bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang
dapat mengganggu kesehatan jiwa.
(2)  Upaya  kesehatan  jiwa  sebagaimana  dimaksud  pada  
ayat  (1)  terdiri  atas  preventif,  promotif,  kuratif,
rehabilitatif  pasien  gangguan  jiwa  dan  masalah
psikososial.
(3)  Upaya  kesehatan  jiwa  sebagaimana  dimaksud  pada  
ayat  (1)  menjadi  tanggung  jawab  bersama  Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat.
(4)  Pemerintah,  pemerintah  daerah,  dan  masyarakat
bertanggung jawab menciptakan kondisi kesehatan jiwa
yang  setinggi-tingginya  dan  menjamin  ketersediaan,
aksesibilitas,  mutu  dan  pemerataan  upaya  kesehatan
jiwa sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (2).
(5)  Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban untuk
mengembangkan  upaya  kesehatan  jiwa  berbasis
masyarakat  sebagai  bagian  dari  upaya  kesehatan  jiwa
keseluruhan,  termasuk  mempermudah  akses
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan jiwa.

Pasal 145
Pemerintah,  pemerintah  daerah  dan  masyarakat  menjamin
upaya  kesehatan  jiwa  secara  preventif,  promotif,  kuratif,  dan
rehabilitatif,  termasuk  menjamin  upaya  kesehatan  jiwa  di
tempat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ayat (3).





Pasal 146 . . .










- 54 -


Pasal 146
 (1)    Masyarakat berhak mendapatkan informasi dan edukasi
yang benar mengenai kesehatan jiwa.
(2)   Hak  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  ditujukan
untuk  menghindari  pelanggaran  hak  asasi  seseorang
yang dianggap mengalami gangguan kesehatan jiwa.
(3)    Pemerintah  dan  pemerintah  daerah  berkewajiban
menyediakan  layanan  informasi  dan  edukasi  tentang
kesehatan jiwa.

Pasal 147
(1)  Upaya penyembuhan penderita gangguan kesehatan jiwa
merupakan  tanggung  jawab  Pemerintah,  pemerintah
daerah dan masyarakat. 
(2)  Upaya  penyembuhan  sebagaimana  dimaksud  pada   
ayat  (1)  dilakukan  oleh  tenaga  kesehatan  yang
berwenang  dan  di  tempat  yang  tepat  dengan  tetap
menghormati hak asasi penderita.
(3)  Untuk  merawat  penderita  gangguan  kesehatan  jiwa,
digunakan  fasilitas  pelayanan  kesehatan  khusus  yang
memenuhi  syarat  dan  yang  sesuai  dengan  ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 148
(1)  Penderita  gangguan  jiwa  mempunyai  hak  yang  sama
sebagai warga negara.
(2)   Hak  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  meliputi
persamaan  perlakuan  dalam  setiap  aspek  kehidupan,
kecuali  peraturan  perundang-undangan  menyatakan
lain.





Pasal 149 . . .










- 55 -

Pasal 149
(1)  Penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang,
mengancam  keselamatan  dirinya  dan/atau  orang  lain,
dan/atau  mengganggu  ketertiban  dan/atau  keamanan
umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di
fasilitas pelayanan kesehatan. 
(2)  Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat  wajib
melakukan  pengobatan  dan  perawatan  di  fasilitas
pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa yang
terlantar,  menggelandang,  mengancam  keselamatan
dirinya  dan/atau  orang  lain,  dan/atau  mengganggu
ketertiban dan/atau keamanan umum. 
(3)  Pemerintah  dan  pemerintah  daerah  bertanggung  jawab
atas  pemerataan  penyediaan  fasilitas  pelayanan
kesehatan  jiwa  dengan  melibatkan  peran  serta  aktif
masyarakat. 
(4)  Tanggung  jawab  Pemerintah  dan  pemerintah  daerah
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2)  termasuk
pembiayaan  pengobatan  dan  perawatan  penderita
gangguan jiwa untuk masyarakat miskin. 

Pasal 150
(1)   Pemeriksaan  kesehatan  jiwa  untuk  kepentingan
penegakan  hukum  (visum  et  repertum  psikiatricum)
hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran
jiwa pada fasilitas pelayanan kesehatan.
(2)   Penetapan  status  kecakapan  hukum  seseorang  yang
diduga  mengalami  gangguan  kesehatan  jiwa  dilakukan
oleh  tim  dokter  yang  mempunyai  keahlian  dan
kompetensi sesuai dengan standar profesi.

Pasal 151
Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya kesehatan jiwa diatur
dengan Peraturan Pemerintah.


BAB X . . .










- 56 -


BAB X
 PENYAKIT MENULAR DAN TIDAK MENULAR

Bagian Kesatu
Penyakit Menular

Pasal 152
(1)  Pemerintah,  pemerintah  daerah  dan  masyarakat
bertanggung  jawab  melakukan  upaya  pencegahan,
pengendalian,  dan  pemberantasan  penyakit  menular
serta akibat yang ditimbulkannya. 
(2)  Upaya  pencegahan,  pengendalian,  dan  pemberantasan
penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan  untuk  melindungi  masyarakat  dari
tertularnya  penyakit,  menurunkan  jumlah  yang  sakit,
cacat  dan/atau  meninggal  dunia,  serta  untuk
mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat penyakit
menular. 
(3)  Upaya  pencegahan,  pengendalian,  dan  penanganan
penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan  melalui  kegiatan  promotif,  preventif,  kuratif,
dan rehabilitatif bagi individu atau masyarakat.
(4)    Pengendalian  sumber  penyakit  menular  sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilakukan terhadap lingkungan
dan/atau orang dan sumber penularan lainnya.
(5)  Upaya  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)
dilaksanakan dengan harus berbasis wilayah.
(6)  Pelaksanaan upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan melalui lintas sektor.
(7)  Dalam  melaksanakan  upaya  sebagaimana  dimaksud
pada ayat (1), Pemerintah dapat melakukan kerja sama
dengan negara lain.


(8)   Upaya . . .










- 57 -

(8)  Upaya  pencegahan  pengendalian,  dan  pemberantasan
penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan  berdasarkan  ketentuan  peraturan
perundang-undangan.

Pasal 153 
Pemerintah  menjamin  ketersediaan  bahan  imunisasi  yang
aman,  bermutu,  efektif,  terjangkau,  dan  merata  bagi
masyarakat  untuk  upaya  pengendalian  penyakit  menular
melalui imunisasi.

Pasal 154
(1)  Pemerintah  secara  berkala  menetapkan  dan
mengumumkan  jenis  dan  persebaran  penyakit  yang
berpotensi  menular  dan/atau  menyebar  dalam  waktu
yang  singkat,  serta  menyebutkan  daerah  yang  dapat
menjadi sumber penularan.
(2)  Pemerintah  dapat  melakukan  surveilans  terhadap
penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)  Dalam melaksanakan surveilans sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Pemerintah dapat melakukan kerja sama
dengan masyarakat dan negara lain.
(4)  Pemerintah menetapkan jenis penyakit yang memerlukan
karantina, tempat karantina, dan lama karantina.

Pasal 155
(1)  Pemerintah  daerah  secara  berkala  menetapkan  dan
mengumumkan  jenis  dan  persebaran  penyakit  yang
berpotensi  menular  dan/atau  menyebar  dalam  waktu
yang  singkat,  serta  menyebutkan  daerah  yang  dapat
menjadi sumber penularan. 
(2)  Pemerintah  daerah  dapat  melakukan  surveilans
terhadap penyakit menular sebagaimana dimaksud pada
ayat (1). 
(3)   Dalam . . .










- 58 -


(3)  Dalam melaksanakan surveilans sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), pemerintah daerah dapat melakukan kerja
sama dengan masyarakat. 
(4)  Pemerintah  daerah  menetapkan  jenis  penyakit  yang
memerlukan  karantina,  tempat  karantina,  dan  lama
karantina.
(5)  Pemerintah  daerah    dalam    menetapkan  dan
mengumumkan  jenis  dan  persebaran  penyakit  yang
berpotensi  menular  dan/atau  menyebar  dalam  waktu
singkat  dan  pelaksanaan  surveilans  serta  menetapkan
jenis  penyakit  yang  memerlukan  karantina,  tempat
karantina,  dan  lama  karantina  berpedoman  pada
ketentuan sebagaimana dimaksud  pada ayat (1). 

Pasal 156
(1)  Dalam melaksanakan upaya pencegahan, pengendalian,
dan  pemberantasan  penyakit  menular  sebagaimana
dimaksud  dalam  Pasal  154  ayat  (1),  Pemerintah  dapat
menyatakan  wilayah  dalam  keadaan  wabah,  letusan,
atau kejadian luar biasa (KLB).
(2)  Penentuan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau
kejadian  luar  biasa  (KLB)  sebagaimana  dimaksud  pada
ayat  (1)  harus  dilakukan  berdasarkan  hasil  penelitian
yang diakui keakuratannya.
(3)  Pemerintah,  pemerintah  daerah,  dan  masyarakat
melakukan  upaya  penanggulangan  keadaan  wabah,
letusan, atau kejadian luar biasa sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
(4)  Penentuan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau
kejadian  luar  biasa  dan  upaya  penanggulangan
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dan  ayat  (3),
dilaksanakan  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan
perundang-undangan.



Pasal 157 . . .










- 59 -

Pasal 157
(1)  Pencegahan  penularan  penyakit  menular  wajib
dilakukan oleh masyarakat termasuk penderita penyakit
menular melalui perilaku hidup bersih dan sehat. 
(2)  Dalam  pelaksanaan  penanggulangan  penyakit  menular,
tenaga  kesehatan  yang  berwenang  dapat  memeriksa
tempat-tempat yang dicurigai berkembangnya vektor dan
sumber penyakit lain.
(3)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  penyakit  menular
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  diatur  dengan
Peraturan Menteri.

Bagian Kedua
Penyakit Tidak Menular

Pasal 158
(1)  Pemerintah,  pemerintah  daerah  dan  masyarakat
melakukan  upaya  pencegahan,  pengendalian,  dan
penanganan penyakit tidak menular beserta akibat yang
ditimbulkannya.
(2)  Upaya  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  untuk
meningkatkan  pengetahuan,  kesadaran,  kemauan
berperilaku  sehat  dan  mencegah  terjadinya  penyakit
tidak menular beserta akibat yang ditimbulkan.
(3)  Upaya  pencegahan,  pengendalian,  dan  penanganan
penyakit  tidak  menular  sebagaimana  dimaksud  pada
ayat  (1)  dilakukan  melalui  kegiatan  promotif,  preventif,
kuratif, dan rehabilitatif bagi individu atau masyarakat.
(4)  Ketentuan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1),      
ayat  (2),  dan  ayat  (3)  dilaksanakan  sesuai  dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.





Pasal 159 . . .










- 60 -


Pasal 159
(1)     Pengendalian penyakit tidak menular dilakukan dengan
pendekatan surveilan faktor risiko, registri penyakit, dan
surveilan kematian.
(2)    Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan
memperoleh  informasi  yang  esensial  serta  dapat
digunakan untuk pengambilan keputusan dalam upaya
pengendalian penyakit tidak menular.
(3)     Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui kerja sama lintas sektor dan dengan membentuk
jejaring, baik nasional maupun internasional.

Pasal 160
(1)  Pemerintah,  pemerintah  daerah  bersama  masyarakat
bertanggung  jawab  untuk  melakukan  komunikasi,
informasi, dan edukasi yang benar tentang faktor risiko
penyakit  tidak  menular  yang  mencakup  seluruh  fase
kehidupan.
(2)  Faktor risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara
lain meliputi diet tidak seimbang, kurang aktivitas fisik,
merokok,  mengkonsumsi  alkohol,  dan  perilaku  berlalu
lintas yang tidak benar.

Pasal 161
(1)   Manajemen pelayanan kesehatan penyakit tidak menular
meliputi keseluruhan spektrum pelayanan baik promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif.
(2)    Manajemen  pelayanan  sebagaimana  dimaksud  pada 
ayat  (1)  dikelola  secara  profesional  sehingga  pelayanan
kesehatan  penyakit  tidak  menular  tersedia,  dapat
diterima,  mudah  dicapai,  berkualitas  dan  terjangkau
oleh masyarakat.
(3)   Manajemen  pelayanan  sebagaimana  dimaksud  pada 
ayat (1) dititikberatkan pada deteksi dini dan pengobatan
penyakit tidak menular. 
BAB XI . . .










- 61 -

BAB XI
KESEHATAN LINGKUNGAN

Pasal 162
Upaya  kesehatan  lingkungan  ditujukan  untuk  mewujudkan
kualitas  lingkungan  yang  sehat,  baik  fisik,  kimia,  biologi,
maupun  sosial  yang  memungkinkan  setiap  orang  mencapai
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Pasal 163
(1)  Pemerintah,  pemerintah  daerah  dan  masyarakat
menjamin ketersediaan lingkungan yang sehat dan tidak
mempunyai risiko buruk bagi kesehatan.
(2)  Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup  lingkungan  permukiman,  tempat  kerja,
tempat rekreasi, serta tempat dan fasilitas umum.
(3)  Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
bebas  dari  unsur-unsur  yang  menimbulkan  gangguan
kesehatan, antara lain:
a.  limbah cair;
b.  limbah padat;
c.  limbah gas;
d.  sampah  yang  tidak  diproses  sesuai  dengan
persyaratan yang ditetapkan pemerintah;
e.  binatang pembawa penyakit;
f.  zat kimia yang berbahaya;
g.  kebisingan yang melebihi ambang batas;
h.  radiasi sinar pengion dan non pengion;
i.  air yang tercemar;
j.  udara yang tercemar; dan
k.  makanan yang terkontaminasi.



(4)   Ketentuan . . .










- 62 -


(4)  Ketentuan  mengenai  standar  baku  mutu  kesehatan
lingkungan dan proses pengolahan limbah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3), ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.

BAB XII
KESEHATAN KERJA

Pasal 164
(1)  Upaya  kesehatan  kerja  ditujukan  untuk  melindungi
pekerja  agar  hidup  sehat  dan  terbebas  dari  gangguan
kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh
pekerjaan. 
(2)  Upaya  kesehatan  kerja  sebagaimana  dimaksud  pada 
ayat (1) meliputi pekerja di sektor formal dan informal.
(3)  Upaya  kesehatan  kerja  sebagaimana  dimaksud  pada 
ayat  (1)  berlaku  bagi  setiap  orang  selain  pekerja  yang
berada di lingkungan tempat kerja.
(4)  Upaya  kesehatan  kerja  sebagaimana  dimaksud  pada 
ayat (1) dan ayat (2) berlaku juga bagi kesehatan pada
lingkungan tentara nasional Indonesia baik darat, laut,
maupun udara serta kepolisian Republik Indonesia. 
(5)  Pemerintah  menetapkan  standar  kesehatan  kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(6)  Pengelola tempat kerja wajib menaati standar kesehatan
kerja  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (5)  dan
menjamin  lingkungan  kerja  yang  sehat  serta
bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan kerja.
(7)  Pengelola  tempat  kerja  wajib  bertanggung  jawab  atas
kecelakaan kerja yang terjadi di lingkungan kerja sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.





Pasal 165 . . .










- 63 -

Pasal 165
(1)  Pengelola  tempat  kerja  wajib  melakukan  segala  bentuk
upaya  kesehatan  melalui  upaya  pencegahan,
peningkatan,  pengobatan  dan  pemulihan  bagi  tenaga
kerja.
(2)  Pekerja  wajib  menciptakan  dan  menjaga  kesehatan
tempat  kerja  yang  sehat  dan  menaati  peraturan  yang
berlaku di tempat kerja.
(3)  Dalam  penyeleksian  pemilihan  calon  pegawai  pada
perusahaan/instansi,  hasil  pemeriksaan  kesehatan
secara  fisik  dan  mental  digunakan  sebagai  bahan
pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
(4)  Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan  ayat  (3)  dilaksanakan  sesuai  dengan  ketentuan
peraturan perundang-undangan.


Pasal 166
(1)  Majikan  atau  pengusaha  wajib  menjamin  kesehatan
pekerja  melalui  upaya  pencegahan,  peningkatan,
pengobatan  dan  pemulihan  serta  wajib  menanggung
seluruh biaya pemeliharaan kesehatan pekerja.
(2)  Majikan  atau  pengusaha  menanggung  biaya  atas
gangguan  kesehatan  akibat  kerja  yang  diderita  oleh
pekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3)  Pemerintah  memberikan  dorongan  dan  bantuan  untuk
perlindungan  pekerja  sebagaimana  dimaksud  pada   
ayat (1) dan ayat (2).








BAB XIII . . .










- 64 -


BAB XIII
PENGELOLAAN KESEHATAN

Pasal 167
(1)  Pengelolaan  kesehatan  yang  diselenggarakan  oleh
Pemerintah,  pemerintah  daerah  dan/atau  masyarakat
melalui  pengelolaan  administrasi  kesehatan,  informasi
kesehatan,  sumber  daya  kesehatan,  upaya  kesehatan,
pembiayaan  kesehatan,  peran  serta  dan  pemberdayaan
masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi  di bidang
kesehatan,  serta  pengaturan  hukum  kesehatan  secara
terpadu  dan  saling  mendukung  guna  menjamin
tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
(2)  Pengelolaan  kesehatan  dilakukan  secara  berjenjang  di
pusat dan daerah.
(3)  Pengelolaan  kesehatan  sebagaimana  dimaksud  pada 
ayat (1) dibuat dalam suatu sistem kesehatan nasional. 
(4)  Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden.


BAB XIV
INFORMASI KESEHATAN

Pasal 168
(1)  Untuk  menyelenggarakan  upaya  kesehatan  yang  efektif
dan efisien diperlukan informasi kesehatan.
(2)  Informasi  kesehatan  sebagaimana  dimaksud  pada     
ayat (1) dilakukan melalui sistem informasi dan melalui
lintas sektor.
(3)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  sistem  informasi
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2)  diatur  dengan
Peraturan Pemerintah.



Pasal 169 . . .










- 65 -

Pasal 169
Pemerintah  memberikan  kemudahan  kepada  masyarakat
untuk memperoleh akses terhadap informasi kesehatan dalam
upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

BAB XV
PEMBIAYAAN KESEHATAN

Pasal 170
(1)  Pembiayaan  kesehatan  bertujuan  untuk  penyediaan
pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan
jumlah  yang  mencukupi,  teralokasi  secara  adil,  dan
termanfaatkan  secara  berhasil  guna  dan  berdaya  guna
untuk  menjamin  terselenggaranya  pembangunan
kesehatan  agar  meningkatkan  derajat  kesehatan
masyarakat setinggi-tingginya. 
(2)  Unsur-unsur  pembiayaan  kesehatan  sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas sumber pembiayaan,
alokasi, dan pemanfaatan.
(3)  Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari Pemerintah,
pemerintah  daerah,  masyarakat,  swasta  dan  sumber
lain.
Pasal 171
(1)  Besar  anggaran  kesehatan  Pemerintah  dialokasikan
minimal  sebesar  5%  (lima  persen)  dari  anggaran
pendapatan dan belanja negara di luar gaji. 
(2)  Besar  anggaran  kesehatan  pemerintah  daerah  provinsi,
kabupaten/kota  dialokasikan  minimal  10%  (sepuluh
persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di
luar gaji.
(3)  Besaran  anggaran  kesehatan  sebagaimana  dimaksud
pada  ayat  (1)  dan  ayat  (2)  diprioritaskan  untuk
kepentingan  pelayanan  publik  yang  besarannya
sekurang-kurangnya  2/3  (dua  pertiga)  dari  anggaran
kesehatan  dalam  anggaran  pendapatan  dan  belanja
negara  dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Pasal 172 . . .










- 66 -


Pasal 172
(1)   Alokasi  pembiayaan  kesehatan  sebagaimana  dimaksud
dalam Pasal 171 ayat (3) ditujukan untuk pelayanan
kesehatan di bidang pelayanan publik, terutama
bagi penduduk miskin, kelompok lanjut usia, dan anak
terlantar.
(2)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  tata  cara  alokasi
pembiayaan  kesehatan  sebagaimana  dimaksud  pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 173
(1)  Alokasi  pembiayaan  kesehatan  yang  bersumber  dari
swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 ayat (3)
dimobilisasi  melalui  sistem  jaminan  sosial  nasional
dan/atau asuransi kesehatan komersial.
(2)  Ketentuan  mengenai  tata  cara  penyelenggaraan  sistem
jaminan  sosial  nasional    dan/atau  asuransi  kesehatan
komersial  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)
dilaksanakan  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan
perundang-undangan.


BAB XVI
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 174
(1)  Masyarakat  berperan  serta,  baik  secara  perseorangan
maupun terorganisasi dalam segala bentuk dan tahapan
pembangunan  kesehatan  dalam  rangka  membantu
mempercepat pencapaian derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya.
(2)  Peran  serta  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)
mencakup keikutsertaan secara aktif dan kreatif.



BAB XVII . . .










- 67 -

BAB XVII
BADAN PERTIMBANGAN KESEHATAN

Bagian Kesatu
Nama dan Kedudukan

Pasal 175
Badan  pertimbangan  kesehatan  merupakan  badan
independen,  yang  memiliki  tugas,  fungsi,  dan  wewenang  di
bidang kesehatan.

Pasal 176
(1)  Badan pertimbangan kesehatan berkedudukan di Pusat
dan daerah.
(2)  Badan pertimbangan kesehatan pusat dinamakan Badan
Pertimbangan Kesehatan Nasional selanjutnya disingkat
BPKN  berkedudukan  di  ibukota  Negara  Republik
Indonesia.
(3)  Badan  pertimbangan  kesehatan  daerah  selanjutnya
disingkat  BPKD  berkedudukan  di  provinsi  dan
kabupaten/kota.
(4)  Kedudukan  BPKN  dan  BPKD  sebagaimana  dimaksud
pada  ayat  (2)  dan  ayat  (3)  berada  sampai  pada  tingkat
kecamatan.

Bagian Kedua
Peran, Tugas, dan Wewenang

Pasal 177
(1)  BPKN  dan  BPKD  berperan  membantu  pemerintah  dan
masyarakat  dalam  bidang  kesehatan  sesuai  dengan
lingkup tugas masing-masing.
(2)  BPKN  dan  BPKD  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)
mempunyai tugas dan wewenang antara lain:
a.   menginventarisasi  masalah  melalui  penelaahan
terhadap berbagai informasi dan data yang relevan
atau  berpengaruh  terhadap  proses  pembangunan
kesehatan;
b.   memberikan . . .










- 68 -


b.   memberikan  masukan  kepada  pemerintah  tentang
sasaran  pembangunan  kesehatan  selama  kurun
waktu 5 (lima) tahun;
c.   menyusun  strategi  pencapaian  dan  prioritas
kegiatan pembangunan kesehatan;
d.   memberikan  masukan  kepada  pemerintah  dalam
pengidentifikasi  dan  penggerakan  sumber  daya
untuk pembangunan kesehatan;
e.   melakukan  advokasi  tentang  alokasi  dan
penggunaan  dana  dari  semua  sumber  agar
pemanfaatannya efektif, efisien, dan sesuai dengan
strategi yang ditetapkan;
f.   memantau  dan  mengevaluasi  pelaksanaan
pembangunan kesehatan; dan
g.   merumuskan  dan  mengusulkan  tindakan  korektif
yang  perlu  dilakukan  dalam  pelaksanaan
pembangunan kesehatan yang menyimpang.
(3)  BPKN  dan  BPKD  berperan  membantu  pemerintah  dan
masyarakat dalam bidang kesehatan.
(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan, susunan
organisasi  dan  pembiayaan  BPKN  dan  BPKD
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  diatur  dengan
Peraturan Presiden.


BAB XVIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Bagian Kesatu
Pembinaan

Pasal 178
Pemerintah  dan  pemerintah  daerah  melakukan  pembinaan
terhadap  masyarakat  dan  terhadap  setiap    penyelenggara
kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya kesehatan di
bidang kesehatan dan upaya kesehatan.

Pasal 179 . . .










- 69 -

Pasal 179
(1)  Pembinaan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  178
diarahkan untuk:
a.  memenuhi  kebutuhan  setiap  orang  dalam
memperoleh  akses  atas  sumber  daya  di  bidang
kesehatan;
b.  menggerakkan  dan  melaksanakan  penyelenggaraan
upaya kesehatan;
c.  memfasilitasi  dan  menyelenggarakan  fasilitas
kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan; 
d.  memenuhi  kebutuhan  masyarakat  untuk
mendapatkan  perbekalan  kesehatan,  termasuk
sediaan  farmasi  dan  alat  kesehatan  serta  makanan
dan minuman;
e.  memenuhi kebutuhan gizi masyarakat sesuai dengan
standar dan persyaratan;
f.  melindungi  masyarakat  terhadap  segala
kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi
kesehatan.
(2)  Pembinaan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)
dilaksanakan melalui:
a.  komunikasi,  informasi,  edukasi  dan  pemberdayaan
masyarakat;
b.  pendayagunaan tenaga kesehatan;
c.  pembiayaan.

Pasal 180
Dalam rangka pembinaan, Pemerintah dan pemerintah daerah,
dapat  memberikan  penghargaan  kepada  orang  atau  badan
yang telah berjasa dalam setiap kegiatan mewujudkan tujuan
kesehatan.

Pasal 181
Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  pembinan  diatur  dengan
Peraturan Menteri.

Bagian Kedua . . .










- 70 -


Bagian Kedua
Pengawasan

Pasal 182
(1)  Menteri  melakukan  pengawasan  terhadap  masyarakat
dan  setiap  penyelenggara  kegiatan  yang  berhubungan
dengan  sumber  daya  di  bidang  kesehatan  dan  upaya
kesehatan.
(2)  Menteri  dalam  melakukan  pengawasan  dapat
memberikan izin terhadap setiap penyelengaraan upaya
kesehatan. 
(3)  Menteri dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana
dimaksud  pada  ayat  (1)  dan  ayat  (2)  dapat
mendelegasikan  kepada  lembaga  pemerintah  non
kementerian,  kepala  dinas  di  provinsi,  dan
kabupaten/kota  yang  tugas  pokok  dan  fungsinya  di
bidang kesehatan.
(4)  Menteri  dalam  melaksanakan  pengawasan
mengikutsertakan masyarakat.

Pasal 183
Menteri  atau  kepala  dinas  sebagaimana  dimaksud  dalam   
Pasal  182  dalam  melaksanakan  tugasnya  dapat  mengangkat
tenaga  pengawas  dengan  tugas  pokok  untuk  melakukan
pengawasan  terhadap  segala  sesuatu  yang  berhubungan
dengan  sumber  daya  di  bidang  kesehatan  dan  upaya
kesehatan.

Pasal 184
Dalam  melaksanakan  tugas  sebagaimana  dimaksud  dalam
Pasal 183, tenaga pengawas mempunyai fungsi:
a.  memasuki  setiap  tempat  yang  diduga  digunakan  dalam
kegiatan  yang  berhubungan  dengan  penyelenggaraan
upaya kesehatan;
b.  memeriksa  perizinan  yang  dimiliki  oleh  tenaga  kesehatan
dan fasilitas kesehatan.
Pasal 185 . . .










- 71 -

Pasal 185
Setiap  orang  yang  bertanggung  jawab  atas  tempat
dilakukannya pemeriksaan oleh tenaga pengawas mempunyai
hak  untuk  menolak  pemeriksaan  apabila  tenaga  pengawas
yang  bersangkutan  tidak  dilengkapi  dengan  tanda  pengenal
dan surat perintah pemeriksaan.

Pasal 186
Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan adanya dugaan atau
patut diduga adanya pelanggaran hukum di bidang kesehatan,
tenaga  pengawas  wajib  melaporkan  kepada  penyidik  sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 187
Ketentuan  lebih  lanjut  tentang  pengawasan  diatur  dengan
Peraturan Menteri.

Pasal 188
(1)  Menteri  dapat  mengambil  tindakan  administratif
terhadap  tenaga  kesehatan  dan  fasilitas  pelayanan
kesehatan  yang  melanggar  ketentuan  sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini.
(2)  Menteri dapat mendelegasikan kewenangan sebagaimana
dimaksud  pada  ayat  (1)  kepada  lembaga  pemerintah
nonkementerian,  kepala  dinas  provinsi,  atau
kabupaten/kota  yang  tugas  pokok  dan  fungsinya  di
bidang kesehatan.
(3)  Tindakan  administratif  sebagaimana  dimaksud  pada
ayat (1) dapat berupa:
a.  peringatan secara tertulis;
b.  pencabutan izin sementara atau izin tetap.
(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan
tindakan administratif sebagaimana dimaksud pasal ini
diatur oleh Menteri. 


BAB XIX . . .










- 72 -


BAB XIX
PENYIDIKAN

Pasal 189
(1)  Selain penyidik polisi negara Republik Indonesia, kepada
pejabat  pegawai  negeri  sipil  tertentu  di  lingkungan
pemerintahan yang menyelenggarakan urusan di bidang
kesehatan  juga  diberi  wewenang  khusus  sebagai
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor  8  Tahun  1981  tentang  Hukum  Acara  Pidana
untuk  melakukan  penyidikan  tindak  pidana  di  bidang
kesehatan.
(2)  Penyidik  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)
berwenang:
a.  melakukan  pemeriksaan  atas  kebenaran  laporan
serta  keterangan  tentang  tindak  pidana  di  bidang
kesehatan;
b.  melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga
melakukan tindak pidana di bidang kesehatan;
c.  meminta  keterangan  dan  bahan  bukti  dari  orang
atau  badan  hukum  sehubungan  dengan  tindak
pidana di bidang kesehatan;
d.  melakukan  pemeriksaan  atas  surat  dan/atau
dokumen  lain  tentang  tindak  pidana  di  bidang
kesehatan;
e.  melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau
barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang
kesehatan;
f.  meminta  bantuan  ahli  dalam  rangka  pelaksanaan
tugas penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan; 
g.  menghentikan  penyidikan  apabila  tidak  terdapat
cukup  bukti  yang  membuktikan  adanya  tindak
pidana di bidang kesehatan.
(3)  Kewenangan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2)
dilaksanakan  oleh  penyidik  sesuai  dengan  ketentuan
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
BAB XX . . .










- 73 -

BAB XX
KETENTUAN PIDANA

Pasal 190
(1)  Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga
kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada
fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak
memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang
dalam  keadaan  gawat  darurat  sebagaimana  dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana
dengan  pidana  penjara  paling  lama  2  (dua)  tahun  dan
denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah). 
(2)  Dalam  hal  perbuatan  sebagaimana  dimaksud  pada   
ayat  (1)  mengakibatkan  terjadinya  kecacatan  atau
kematian,  pimpinan  fasilitas  pelayanan  kesehatan
dan/atau  tenaga  kesehatan  tersebut  dipidana  dengan
pidana  penjara  paling  lama  10  (sepuluh)  tahun  dan
denda  paling  banyak  Rp1.000.000.000,00  (satu  miliar
rupiah). 

Pasal 191  
Setiap  orang  yang  tanpa  izin  melakukan  praktik  pelayanan
kesehatan  tradisional    yang  menggunakan  alat  dan  teknologi
sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  60  ayat  (1)  sehingga
mengakibatkan  kerugian  harta  benda,  luka  berat  atau
kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun  dan  denda  paling  banyak  Rp100.000.000,00  (seratus
juta rupiah).
 
Pasal 192  
Setiap  orang  yang  dengan  sengaja  memperjualbelikan  organ
atau  jaringan  tubuh  dengan  dalih  apa  pun  sebagaimana
dimaksud  dalam  Pasal  64  ayat  (3)  dipidana  dengan  pidana
penjara  paling  lama  10  (sepuluh)  tahun  dan  denda  paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 193 . . .










- 74 -


Pasal 193 
Setiap  orang  yang  dengan  sengaja  melakukan  bedah  plastik
dan rekonstruksi untuk tujuan mengubah identitas seseorang
sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  69  diancam  dengan
pidana  penjara  paling  lama  10  (sepuluh)  tahun  dan  denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
         
Pasal 194
Setiap  orang  yang  dengan  sengaja  melakukan  aborsi  tidak
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
75  ayat  (2)  dipidana  dengan  pidana  penjara  paling  lama  10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
 
Pasal 195 
Setiap  orang  yang  dengan  sengaja  memperjualbelikan  darah
dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90
Ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).

Pasal 196 
Setiap  orang  yang  dengan  sengaja  memproduksi  atau
mengedarkan  sediaan  farmasi  dan/atau  alat  kesehatan  yang
tidak  memenuhi  standar  dan/atau  persyaratan  keamanan, 
khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara  paling  lama  10  (sepuluh)  tahun  dan  denda  paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 197 
Setiap  orang  yang  dengan  sengaja  memproduksi  atau
mengedarkan  sediaan  farmasi  dan/atau  alat  kesehatan  yang
tidak  memiliki  izin  edar  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal
106 ayat (1) dipidana dengan pidana  penjara paling lama 15
(lima  belas)  tahun  dan  denda  paling  banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 198 . . .










- 75 -

Pasal 198
Setiap  orang  yang  tidak  memiliki  keahlian  dan  kewenangan
untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 199  
(1)  Setiap  orang  yang  dengan  sengaja  memproduksi  atau
memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik  Indonesia  dengan  tidak  mencantumkan
peringatan  kesehatan  berbentuk  gambar  sebagaimana
dimaksud  dalam  Pasal    114  dipidana  penjara  paling
lama  5  (lima)  tahun  dan  dendan  paling  banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
(2)  Setiap  orang  yang  dengan  sengaja  melanggar  kawasan
tanpa  rokok    sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  115
dipidana  denda  paling  banyak  Rp50.000.000,00  (lima
puluh juta rupiah).

Pasal 200 
Setiap  orang  yang  dengan  sengaja  menghalangi  program
pemberian  air  susu  ibu  eksklusif  sebagaimana  dimaksud
dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun  dan  denda  paling  banyak  Rp100.000.000,00  (seratus
juta rupiah)
 
Pasal 201  
(1)  Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal  190  ayat  (1),  Pasal  191,  Pasal  192,  Pasal  196, 
Pasal  197,  Pasal  198,  Pasal  199,  dan  Pasal  200
dilakukan  oleh  korporasi,  selain  pidana  penjara  dan
denda  terhadap  pengurusnya,  pidana  yang  dapat
dijatuhkan  terhadap  korporasi  berupa  pidana  denda
dengan  pemberatan  3  (tiga)  kali  dari  pidana  denda
sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  190  ayat  (1),    
Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196 , Pasal 197, Pasal 198,
Pasal 199, dan Pasal 200.
(2)   Selain . . .










- 76 -


(2)  Selain  pidana  denda  sebagaimana  dimaksud  pada     
ayat  (1),  korporasi  dapat  dijatuhi  pidana  tambahan
berupa:
a.  pencabutan izin usaha; dan/atau
b.   pencabutan status badan hukum.



BAB XXI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 202
Peraturan Perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang-Undang  ini  ditetapkan  paling  lambat  1  (satu)  tahun  sejak
tanggal pengundangan Undang-Undang ini.

Pasal 203
Pada  saat  Undang-Undang  ini  berlaku,  semua  peraturan
pelaksanaan  Undang-Undang  Nomor  23  Tahun  1992  tentang
Kesehatan  dinyatakan  masih  tetap  berlaku  sepanjang  tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.



BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 204
Pada  saat  Undang-Undang  ini  berlaku,  Undang-Undang  
Nomor  23  Tahun  1992  tentang  Kesehatan  (Lembaran  Negara
Republik  Indonesia  Tahun  1992  Nomor  100,  Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 205
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar . . .










- 77 -

Agar  setiap  orang  mengetahuinya,  memerintahkan
pengundangan  Undang-Undang  ini  dengan  penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
                             
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 13 Oktober 200913
Oktober 2009

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.


DR.H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Oktober 200913 Oktober 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,


ttd.


ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 144144


Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,



Wisnu Setiawan






PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR  36  TAHUN  2009 
 TENTANG
KESEHATAN

I.  UMUM
Dalam  pembukaan  Undang-Undang  Dasar  1945  tercantum  jelas  cita-cita
bangsa  Indonesia  yang  sekaligus  merupakan  tujuan  nasional  bangsa
Indonesia.  Tujuan  nasional  tersebut  adalah  melindungi  segenap  bangsa
Indonesia  dan  seluruh  tumpah  darah  Indonesia  dan  memajukan
kesejahteraan  umum,  mencerdaskan  kehidupan  bangsa  dan  ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian
abadi serta keadilan sosial. 
Untuk  mencapai  tujuan  nasional  tersebut  diselenggarakanlah  upaya
pembangunan  yang  berkesinambungan  yang  merupakan  suatu  rangkaian
pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk di antaranya
pembangunan kesehatan.
Kesehatan  merupakan  hak  asasi  manusia  dan  salah  satu  unsur
kesejahteraan  yang  harus  diwujudkan  sesuai  dengan  cita-cita  bangsa
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 
Oleh  karena  itu,  setiap  kegiatan  dan  upaya  untuk  meningkatkan  derajat
kesehatan  masyarakat  yang  setinggi-tingginya  dilaksanakan  berdasarkan
prinsip nondiskriminatif, partisipatif, perlindungan, dan berkelanjutan yang
sangat penting artinya bagi pembentukan sumber daya manusia Indonesia,
peningkatan  ketahanan  dan  daya  saing  bangsa,  serta  pembangunan
nasional.
Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya pada
mulanya berupa upaya penyembuhan penyakit, kemudian secara berangsur-angsur  berkembang  ke  arah  keterpaduan  upaya  kesehatan  untuk  seluruh
masyarakat  dengan  mengikutsertakan  masyarakat  secara  luas  yang
mencakup upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bersifat
menyeluruh terpadu dan berkesinambungan. Perkembangan ini tertuang ke
dalam . . .










- 2 -


dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) pada tahun 1982 yang selanjutnya
disebutkan  kedalam  GBHN  1983  dan  GBHN  1988  sebagai  tatanan  untuk
melaksanakan pembangunan kesehatan. 
Selain itu, perkembangan teknologi kesehatan yang berjalan seiring dengan
munculnya fenomena globalisasi telah menyebabkan banyaknya perubahan
yang sifat dan eksistensinya sangat berbeda jauh dari teks yang tercantum
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pesatnya
kemajuan teknologi kesehatan dan teknologi informasi dalam era global ini
ternyata  belum  terakomodatif  secara  baik  oleh  Undang-Undang  Nomor  23
Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Perencanaan  dan  pembiayaan  pembangunan  kesehatan  yang  tidak  sejiwa
dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992, yaitu menitikberatkan pada
pengobatan  (kuratif),  menyebabkan  pola  pikir  yang  berkembang  di
masyarakat adalah bagaimana cara mengobati bila terkena penyakit. Hal itu
tentu akan membutuhkan dana yang lebih besar bila dibandingkan dengan
upaya  pencegahan.  Konsekuensinya,  masyarakat  akan  selalu  memandang
persoalan  pembiayaan  kesehatan  sebagai  sesuatu  yang  bersifat
konsumtif/pemborosan. 
Selain  itu,  sudut  pandang  para  pengambil  kebijakan  juga  masih  belum
menganggap  kesehatan  sebagai  suatu  kebutuhan  utama  dan  investasi
berharga  di  dalam  menjalankan  pembangunan  sehingga  alokasi  dana
kesehatan  hingga  kini  masih  tergolong  rendah  bila  dibandingkan  dengan
negara lain. 
Untuk itu, sudah saatnya kita melihat persoalan kesehatan sebagai suatu
faktor utama dan investasi berharga yang pelaksanaannya didasarkan pada
sebuah paradigma baru yang biasa dikenal dengan paradigma sehat, yakni
paradigma  kesehatan  yang  mengutamakan  upaya  promotif  dan  preventif
tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif. 
Dalam rangka implementasi paradigma sehat tersebut, dibutuhkan sebuah
undang-undang  yang  berwawasan  sehat,  bukan  undang-undang  yang
berwawasan sakit.
Pada  sisi  lain,  perkembangan  ketatanegaraan  bergeser  dari  sentralisasi
menuju  desentralisasi  yang  ditandai  dengan  diberlakukannya  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah  diubah  terakhir  dengan  Undang-Undang  Nomor  12  Tahun  2008
tentang  Perubahan  Kedua  Atas  Undang-Undang  Nomor  32  Tahun  2008
tentang Pemerintahan Daerah. 
Undang-Undang . . .









- 3 -
Undang-Undang  tersebut  memuat  ketentuan  yang  menyatakan  bahwa
bidang  kesehatan  sepenuhnya  diserahkan  kepada  daerah  masing-masing
yang  setiap  daerah  diberi  kewenangan  untuk  mengelola  dan
menyelenggarakan seluruh aspek kesehatan. 
Sebagai  tindak  lanjut  dari  pelaksanaan  Undang-Undang  Nomor  32       
Tahun  2004,  Pemerintah  telah  mengeluarkan  Peraturan  Pemerintah     
Nomor 38 Tahun 2007 yang  mengatur tentang pembagian urusan antara
pemerintah,  pemerintah  provinsi  dan  pemerintah  kabupaten/kota.
Berdasarkan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan perlu disesuaikan dengan semangat otonomi daerah. 
Oleh  karena  itu,  perlu  dibentuk  kebijakan  umum  kesehatan  yang  dapat
dilaksanakan  oleh  semua  pihak  dan  sekaligus  dapat  menjawab  tantangan
era globalisasi dan dengan semakin kompleksnya permasalahan kesehatan
dalam  suatu  Undang-Undang  Kesehatan  yang  baru  untuk  menggantikan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

II.  PASAL DEMI PASAL 
  Pasal  1
  Cukup jelas.
  Pasal 2
Pembangunan  kesehatan  harus  memperhatikan  berbagai  asas  yang
memberikan  arah  pembangunan  kesehatan  dan  dilaksanakan  melalui
upaya kesehatan sebagai berikut:
(5)  asas perikemanusiaan yang berarti bahwa pembangunan kesehatan
harus  dilandasi  atas  perikemanusiaan  yang  berdasarkan  pada
Ketuhanan  Yang  Maha  Esa  dengan  tidak  membedakan  golongan
agama dan bangsa.
(6)  asas  keseimbangan  berarti  bahwa  pembangunan  kesehatan  harus
dilaksanakan antara kepentingan individu dan masyarakat, antara
fisik dan mental, serta antara material dan sipiritual.
(7)  asas  manfaat  berarti  bahwa  pembangunan  kesehatan  harus
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanausiaan dan
perikehidupan yang sehat bagi setiap warga negara.

d. asas . . .










- 4 -


(8)  asas  pelindungan  berarti  bahwa  pembangunan  kesehatan  harus
dapat  memberikan  pelindungan  dan  kepastian  hukum  kepada
pemberi dan penerima pelayanan kesehatan.
(9)  asas  penghormatan    terhadap  hak  dan  kewajiban  berarti  bahwa
pembangunan  kesehatan  dengan  menghormati  hak  dan  kewajiban
masyarakat sebagai bentuk kesamaan kedudukan hukum.
(10)  asas  keadilan  berarti  bahwa  penyelenggaraan  kesehatan  harus
dapat  memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada semua
lapisan masyarakat dengan pembiayaan yang terjangkau.
(11)  asas  gender  dan  nondiskriminatif  berarti  bahwa  pembangunan
kesehatan  tidak  membedakan  perlakuan  terhadap  perempuan  dan
laki-laki.
(12)  asas  norma  agama  berarti  pembangunan  kesehatan  harus
memperhatikan dan menghormati serta tidak membedakan  agama
yang dianut masyarakat.
  
  Pasal 3
Mewujudkan  derajat  kesehatan  masyarakat  adalah  upaya  untuk
meningkatkan  keadaan  kesehatan  yang  lebih  baik  dari  sebelumnya.
Derajat kesehatan yang setinggi-tingginya mungkin dapat dicapai pada
suatu  saat  sesuai  dengan  kondisi  dan  situasi  serta  kemampuan  yang
nyata dari setiap orang atau masyarakat. 
Upaya kesehatan harus selalu diusahakan peningkatannya secara terus
menerus  agar  masyarakat  yang  sehat  sebagai  investasi  dalam
pembangunan dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

  Pasal 4
Hak atas kesehatan yang dimaksud dalam pasal ini adalah hak untuk
memperoleh  pelayanan  kesehatan  dari  fasilitas  pelayanan  kesehatan
agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

  Pasal 5
Cukup jelas.
         


Pasal 6 . . .









- 5 -
Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Ayat (1) 
Agar upaya kesehatan berhasil guna dan berdaya guna, Pemerintah
perlu  merencanakan,  mengatur,  membina  dan  mengawasi
penyelenggaraan upaya kesehatan ataupun sumber dayanya secara
serasi  dan  seimbang  dengan  melibatkan  peran  serta  aktif
masyarakat
Ayat (2)
Cukup jelas.



Pasal 15 . . .










- 6 -


Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Untuk dapat terselenggaranya pelayanan kesehatan yang merata kepada
masyarakat,  diperlukan  ketersediaan  tenaga  kesehatan  yang  merata
dalam arti pendayagunaan dan penyebarannya harus merata ke seluruh
wilayah sampai ke daerah terpencil sehingga memudahkan masyarakat
dalam memperoleh layanan kesehatan.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Peran serta aktif masyarakat dalam penyelenggaraan upaya kesehatan
perlu digerakkan dan diarahkan agar dapat berdaya guna dan berhasil
guna.

Pasal 19
Untuk melaksanakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh
masyarakat  diperlukan  ketersediaan  fasilitas  pelayanan  kesehatan  di
seluruh  wilayah  sampai  daerah  terpencil  yang  mudah  dijangkau  oleh
seluruh masyarakat.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Ayat (1)
Pada  prinsipnya  perencanaan,  pengadaan,  pendayagunaan,
pembinaan  dan  pengawasan  mutu  tenaga  kesehatan  ditujukan
kepada seluruh tenaga kesehatan dalam menyelenggarakan upaya
kesehatan. Tenaga kesehatan dapat dikelompokkan sesuai dengan
keahlian dan kualifikasi yang dimiliki, antara lain meliputi tenaga
medis, tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga kesehatan
masyarakat  dan  lingkungan,  tenaga  gizi,  tenaga  keterapian  fisik,
tenaga keteknisian medis, dan tenaga kesehatan lainnya.
Ayat (2) . . .









- 7 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) 
Pengaturan  tenaga  kesehatan  di  dalam  undang-undang  adalah
tenaga kesehatan di luar tenaga medis.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Ayat (1)
Kewenangan  yang  dimaksud  dalam  ayat  ini  adalah  kewenangan
yang diberikan berdasarkan pendidikannya setelah melalui proses
registrasi  dan  pemberian  izin  dari  pemerintah  sesuai  dengan
peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Selama memberikan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan harus
mengutamakan  indikasi  medik  dan  tidak  diskriminatif,  demi
kepentingan terbaik dari pasien dan sesuai dengan indikasi medis.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 24
Cukup jelas.

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .










- 8 -


Ayat (2)
Pemberian  kewenangan  kepada  pemerintah  daerah  dimaksudkan
agar  memberikan  kesempatan  kepada  daerah  untuk  mengatur
sendiri  pengadaan  dan  pendayagunaan  tenaga  kesehatan  yang
diperlukan  sesuai  kebutuhan  daerahnya    dengan  tetap  mengacu
pada peraturan perundang-undangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kewajiban  mengembangkan  dan  meningkatkan  pengetahuan  dan
keterampilan  dimaksudkan  agar  tenaga  kesehatan  yang
bersangkutan  dapat  memberikan  pelayanan  yang  bermutu  sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi baru.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Mediasi  dilakukan  bila  timbul  sengketa  antara  tenaga  kesehatan
pemberi  pelayanan  kesehatan  dengan  pasien  sebagai  penerima
pelayanan  kesehatan.  Mediasi  dilakukan  bertujuan  untuk
menyelesaikan  sengketa  di  luar  pengadilan  oleh  mediator  yang
disepakati oleh para pihak.

  Pasal 30 . . .









- 9 -
Pasal 30  
Ayat (1) 
Cukup jelas.
Ayat (2) 
Yang  dimaksud  dengan  pelayanan  kesehatan  tingkat  pertama
adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan
kesehatan dasar.
Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan tingkat kedua adalah
pelayanan  kesehatan  yang  diberikan  oleh  fasilitas  pelayanan
kesehatan spesialistik.
Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan tingkat ketiga adalah
pelayanan  kesehatan  yang  diberikan  oleh  fasilitas  pelayanan
kesehatan sub spesialistik.
Ayat (3) 
Cukup jelas.
Ayat (4) 
Cukup jelas.
Ayat (5) 
Cukup jelas.

Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34
Ayat (1) 
Cukup jelas. 


Ayat (2) . . .










- 10 -


Ayat (2) 
Bagi  tenaga  kesehatan  yang  sedang  menjalani  proses  belajar
diberikan  izin  secara  kolektif  sesuai  ketentuan  peraturan
perundang-undangan. 
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 35
Cukup jelas.

Pasal 36
Cukup jelas.

Pasal 37
Cukup jelas.

Pasal 38
Cukup jelas.

Pasal 39
Cukup jelas.     

Pasal 40
Ayat (1) 
Cukup jelas.
Ayat (2) 
Cukup jelas.
Ayat (3) 
Cukup jelas.
Ayat (4) 
Cukup jelas.
Ayat (5) 
Cukup jelas.

Ayat (6) . . .









- 11 -
Ayat (6) 
Yang dimaksud dengan “obat generik” adalah obat generik dengan
menggunakan nama Internasional Non Propertery Name (INN). 
Ayat (7)
Cukup jelas.

Pasal 41
Cukup jelas.

Pasal 42
Ayat (1)
Penelitian  dan  pengembangan  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi
kesehatan  ditujukan  untuk  menghasilkan  informasi  kesehatan,
teknologi, produk teknologi, dan teknologi informasi (TI) kesehatan
untuk  mendukung  pembangunan  kesehatan.  Pengembangan
teknologi, produk teknologi, teknologi informasi (TI) dan Informasi
Kesehatan  dilaksanakan  sesuai  dengan  ketentuan  hak  kekayaan
intelektual  (HKI).  Untuk  penelitian  penyakit  infeksi  yang  muncul
baru atau berulang (new emerging atau re emerging diseases) yang
dapat  menyebabkan  kepedulian  kesehatan  dan  kedaruratan
kesehatan  masyarakat  (public  health  emergency  of  international
concern/PHEIC)  harus  dipertimbangkan  kemanfaatan  (benefit
sharing) dan penelusuran ulang asal muasalnya (tracking system)
demi untuk kepentingan nasional.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “teknologi kesehatan” dalam ketentuan ini
adalah  cara,  metode,  proses,  atau  produk  yang  dihasilkan  dari
penerapan  dan  pemanfaatan  disiplin  ilmu  pengetahuan  di  bidang
kesehatan  yang  menghasilkan  nilai  bagi  pemenuhan  kebutuhan,
kelangsungan, dan peningkatan mutu kehidupan manusia.
Ayat (3)
Cukup jelas.



Pasal 43 . . .










- 12 -


Pasal 43
Ayat (1) 
Kelembagaan  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi  terdiri  atas  unsur
perguruan  tinggi,  lembaga  penelitian  dan  pengembangan,  badan
usaha,  dan  lembaga  penunjang.  Lembaga  penelitian  dan
pengembangan  kesehatan  berfungsi  menumbuhkan  kemampuan
pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 44
Ayat (1) 
Yang  dimaksud  dengan  uji  coba  adalah  bagian  dari  kegiatan
penelitian  dan  pengembangan.  Penelitian  adalah  kegiatan  yang
dilakukan  menurut  kaidah  dan  metode  ilmiah  secara  sistematis
untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan
dengan  pemahaman  dan  pembuktian  kebenaran  atau
ketidakbenaran  suatu  asumsi  dan/atau  hipotesis  di  bidang  ilmu
pengetahuan  dan  teknologi  serta  menarik  simpulan  ilmiah  bagi
keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pengembangan  adalah  kegiatan  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi
yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan
yang  telah  terbukti  kebenarannya  untuk  meningkatkan  fungsi,
manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah
ada atau menghasilkan teknologi baru.
Ilmu  pengetahuan  adalah  rangkaian  pengetahuan  yang  digali,
disusun,  dan  dikembangkan  secara  sistematis  dengan
menggunakan pendekatan tertentu yang dilandasi oleh metodologi
ilmiah, baik yang bersifat kuantitatif, kualitatif, maupun eksploratif
untuk  menerangkan  pembuktian  gejala  alam  dan/atau  gejala
kemasyarakatan tertentu.  
Ayat (2)
Semua  uji  coba  yang  menggunakan  manusia  sebagai  subjek  uji
coba  wajib  didasarkan  pada  tiga  prinsip  etik  umum,  yaitu
menghormati  harkat  martabat  manusia  (respect for persons)  yang
bertujuan  menghormati  otonomi  dan  melindungi  manusia  yang
otonominya terganggu/kurang, berbuat baik (beneficence) dan tidak
merugikan (nonmaleficence) dan keadilan (justice).
Ayat (3) . . .









- 13 -
Ayat (3)
Uji  coba  pada  manusia  harus  dilakukan  dengan  memperhatikan
kesehatan  dan  keselamatan  yang  bersangkutan.  Penelitian  dan
pengembangan yang menggunakan manusia sebagai subjek harus
mendapat informed consent. Sebelum meminta persetujuan subyek
penelitian,  peneliti  harus  memberikan  informasi  mengenai  tujuan
penelitian  dan  pengembangan  kesehatan  serta  penggunaan
hasilnya, jaminan kerahasiaan tentang identitas dan data pribadi,
metode yang digunakan, risiko yang mungkin timbul dan hal lain
yang  perlu  diketahui  oleh  yang  bersangkutan  dalam  rangka
penelitian dan pengembangan kesehatan.
Ayat (4) 
Hewan  percobaan  harus  dipilih  dengan  mengutamakan             
hewan  dengan  sensitivitas  neurofisiologik  yang  paling             
rendah (nonsentient organism) dan hewan yang paling rendah pada
skala  evolusi.  Keberhati-hatian  (caution)  yang  wajar  harus
diterapkan pada penelitian yang dapat mempengaruhi lingkungan
dan  kesehatan  hewan  yang  digunakan  dalam  penelitian  harus
dihormati.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 45
Ayat (1)
Larangan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  ini  ditujukan  bagi
pengembangan  teknologi  dan/atau  produk  teknologi  yang
bertujuan untuk penyalahgunaan sebagai senjata dan/atau bahan
senjata  biologi,  yang  menimbulkan  bahaya  bagi  keselamatan
manusia,  kelestarian  fungsi  lingkungan,  kerukunan
bermasyarakat, keselamatan bangsa, dan merugikan negara, serta
membahayakan ketahanan nasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.



Pasal 46 . . .










- 14 -


Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 47
Cukup jelas.

Pasal 48
Cukup jelas.

Pasal 49
Cukup jelas.

Pasal 50
Cukup jelas.

Pasal 51
Cukup jelas.

Pasal 52
Cukup jelas.

Pasal 53
Cukup jelas.

Pasal 54
Cukup jelas.

Pasal 55
Cukup jelas.

Pasal 56
Cukup jelas.

Pasal 57
Cukup jelas.


Pasal 58 . . .









- 15 -
Pasal 58
Ayat (1)
Yang  termasuk  “kerugian”  akibat  pelayanan  kesehatan  termasuk
didalamnya adalah pembocoran rahasia kedokteran.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 59
Cukup jelas.

Pasal 60
Ayat (1)
Yang  dimaksud  dengan  “penggunaan  alat  dan  teknologi”  dalam
ketentuan  ini  adalah  yang  tidak  bertentangan  dengan  tindakan
pengobatan tradisional yang dilakukan.
Ayat (2) 
Cukup jelas.

Pasal 61
Cukup jelas.

Pasal 62
Cukup jelas.

Pasal 63
Cukup jelas.

Pasal 64
Cukup jelas.






Pasal 65 . . .










- 16 -


Pasal 65
Ayat (1)
Yang  dimaksud  dengan  “fasilitas  pelayanan  kesehatan  tertentu”
dalam ketentuan ini adalah fasilitas yang ditetapkan oleh Menteri
yang  telah  memenuhi  persyaratan  antara  lain  peralatan,
ketenagaan  dan  penunjang  lainnya  untuk  dapat  melaksanakan
transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 66
Cukup jelas.

Pasal 67
Ayat (1) 
Pengiriman  spesimen  atau  bagian  organ  tubuh  dilakukan  dalam
rangka penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kesehatan,
pelayanan  kesehatan,  pendidikan  serta  kepentingan  lainnya.
Kepentingan  lainnya  adalah  surveilans,  investigasi  Kejadian  Luar
Biasa (KLB), baku mutu keselamatan dan keamanan laboratorium
kesehatan  sebagai  penentu  diagnosis  penyakit  infeksi,  upaya
koleksi  mikroorganisme,  koleksi  materi,  dan  data  genetik  dari
pasien  dan  agen  penyebab  penyakit.  Pengiriman  ke  luar  negeri
hanya dapat dilakukan apabila cara mencapai maksud dan tujuan
pemeriksaan  tidak  mampu  dilaksanakan  oleh  tenaga  kesehatan
maupun fasilitas pelayanan kesehatan atau lembaga penelitian dan
pengembangan dalam negeri, maupun untuk kepentingan kendali
mutu  dalam  rangka  pemutakhiran  akurasi  kemampuan  standar
diagnostik  dan  terapi  oleh  kelembagaan  dimaksud.  Pengiriman
spesimen  atau  bagian  organ  tubuh  dimaksud  harus  dilegkapi
dengan  Perjanjian  Alih  Material  dan  dokumen  pendukung  yang
relevan. 
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 68 . . .









- 17 -
Pasal 68
Cukup jelas.

Pasal 69
Cukup jelas.

Pasal 70
Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan “sel punca” dalam ketentuan ini adalah sel
dalam tubuh manusia dengan kemampuan istimewa yakni mampu
memperbaharui  atau  meregenerasi  dirinya  dan  mampu
berdiferensiasi menjadi sel lain yang spesifik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 71
Cukup jelas.

Pasal 72
Cukup jelas.

Pasal 73
Cukup jelas.

Pasal 74
Cukup jelas.

Pasal 75
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3) . . .










- 18 -


Ayat (3)
Yang  dimaksud  dengan  “konselor”  dalam  ketentuan  ini  adalah
setiap orang yang telah memiliki sertifikat sebagai konselor melalui
pendidikan  dan  pelatihan.  Yang  dapat  menjadi  konselor  adalah
dokter, psikolog, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan setiap orang
yang mempunyai minat dan memiliki keterampilan untuk itu.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 76
Cukup jelas.

Pasal 77
Yang  dimaksud  dengan  praktik  aborsi  yang  tidak  bermutu,  tidak
aman,  dan  tidak  bertanggung  jawab  adalah  aborsi  yang  dilakukan
dengan  paksaan  dan  tanpa  persetujuan  perempuan  yang
bersangkutan,  yang  dilakukan  oleh  tenaga  kesehatan  yang  tidak
profesional,  tanpa  mengikuti  standar  profesi  dan  pelayanan  yang
berlaku,  diskriminatif,  atau  lebih  mengutamakan  imbalan  materi
dari pada indikasi medis.

Pasal 78
Cukup jelas.

Pasal 79
Cukup jelas.

Pasal 80
Cukup jelas.

Pasal 81
Cukup jelas.



Pasal 82 . . .









- 19 -
Pasal 82
Ayat (1) 
Yang  dimaksud  dengan  “bencana”  dalam  ketentuan  ini  adalah
peristiwa  atau  rangkaian  peristiwa  yang  mengancam  dan
mengganggu  kehidupan  dan  penghidupan  masyarakat  yang
disebabkan,  baik  oleh  faktor  alam  dan/atau  faktor  non  alam
maupun  faktor  manusia  sehingga  mengakibatkan  timbulnya
korban manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan
dampak psikologis.
Pemerintah  harus  memfasilitasi  tersedianya  sumber  daya  dan
pelaksanaan pelayanan kesehatan pada prabencana, saat bencana
dan pascabencana.
Ayat (2) 
Yang  dimaksud  “tanggap  darurat  bencana”  dalam  ketentuan  ini
adalah  serangkaian  kegiatan  yang  dilakukan  dengan  segera  pada
saat  kejadian  bencana  untuk  menangani  dampak  buruk  yang
ditimbulkan,  yang  meliputi  kegiatan  penyelamatan  dan  evakuasi
korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan,
pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana
dan sarana.
Ayat (3) 
Cukup jelas.
Ayat (4) 
Cukup jelas.
Ayat (5) 
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.

Pasal 84
Cukup jelas.

Pasal 85
Cukup jelas.

Pasal 86
Cukup jelas.

Pasal 87
Cukup jelas.

Pasal 88
Cukup jelas.

Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90 . . .










- 20 -



Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Guna  menjamin  ketersediaan  darah  untuk  pelayanan  kesehatan,
jaminan pemerintah diwujudkan dalam bentuk pemberian subsidi
kepada unit transfusi darah (UTD) yang bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN), anggaran pendapatan dan
belanja daerah (APBD) dan bantuan lainnya.
Ayat (3)
Darah sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Pemurah kepada setiap
insan tidaklah sepantasnya dijadikan objek jual beli untuk mencari
keuntungan, biarpun dengan dalih untuk menyambung hidup.

Pasal 91
Ayat (1)
Yang  dimaksud  dengan  “proses  pengolahan”  dalam  ketentuan  ini
adalah pemisahan komponen darah menjadi plasma dan sel darah
merah, sel darah putih dan sel pembeku darah yang dilakukan oleh
UTD dan biaya pengolahan tersebut ditanggung oleh negara.
Yang  dimaksud  dengan  “proses  produksi”  dalam  ketentuan  ini 
adalah  proses  fraksionasi  dimana  dilakukan  penguraian  protein
plasma  menjadi  antara  lain  albumin,  globulin,  faktor  VIII  dan 
faktor IX  dilakukan oleh industri yang harganya dikendalikan oleh
Pemerintah.
Ayat (2)
Yang  dimaksud  dengan  “dikendalikan”  dalam  ketentuan  ini
termasuk  harga  hasil  produksi  yang  bersumber  dari  pengolahan
darah transfusi.

Pasal 92
Cukup jelas.

Pasal 93
Ayat (1) 
Lingkup masalah dari kesehatan gigi dan mulut ditinjau dari fase
tumbuh kembang:
a. Fase . . .









- 21 -
a.  Fase janin;
b.  Ibu Hamil;
c.  Anak-anak;
d.  Remaja;
e.  Dewasa; dan
f.  Lanjut Usia.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 94
Cukup jelas.

Pasal 95
Ayat (1)
Pemerintah menggerakan pemberdayaan masyarakat untuk donor
kornea dan operasi katarak dalam rangka mencegah kebutaan dan
pendengaran.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 96
Cukup jelas.

Pasal 97
Ayat (1) 
Yang  dimaksud  dengan  “kesehatan  matra”  dalam  ketentuan  ini
adalah kondisi dengan lingkungan berubah secara bermakna yang
dapat menimbulkan masalah kesehatan.
Ayat (2) 
Yang dimaksud dengan “kesehatan lapangan” dalam ketentuan ini
adalah  kesehatan  matra  yang  berhubungan  dengan  pekerjaan
didarat yang temporer dan serba berubah. Adapun sasaran pokok
adalah  melakukan  dukungan  kesehatan  operasional  dan
pembinaan  terhadap  setiap  orang  yang  secara  langsung  maupun
tidak langsung terlibat dalam kegiatan dilapangan. 
Yang . . .










- 22 -


Yang dimaksud dengan “kesehatan kelautan dan bawah air” dalam
ketentuan ini adalah kesehatan matra yang berhubungan dengan
pekerjaan  di  laut  dan  yang  berhubungan  dengan  keadaan
lingkungan  yang  bertekanan  tinggi  (hiperbarik)  dengan  sasaran
pokok melakukan dukungan kesehatan operasional dan pembinaan
kesehatan  setiap  orang  yang  secara  langsung  maupun  tidak
langsung terlibat dalam pengoperasian peralatan laut dan dibawah
air.
Yang  dimaksud  dengan  “kesehatan  kedirgantaraan”  dalam
ketentuan ini adalah kesehatan matra udara yang mencakup ruang
lingkup  kesehatan  penerbangan  dan  kesehatan  ruang  angkasa
dengan  keadaan  lingkungan  yang  bertekanan  rendah  (hipobarik)
dengan  mempunyai  sasaran  pokok  melakukan  dukungan
kesehatan  operasional  dan  pembinaan  kesehatan  terhadap  setiap
orang  secara langsung atau tidak langsung.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.

Pasal 99
Cukup jelas.

Pasal 100
Cukup jelas.

Pasal 101
Cukup jelas.

Pasal 102
Cukup jelas.

Pasal 103
Cukup jelas.

Pasal 104 . . .









- 23 -
Pasal 104
Cukup jelas.

Pasal 105
Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan “buku standar lainnya” dalam ketentuan ini
adalah  kalau  tidak  ada  dalam  farmakope  Indonesia,  dapat
menggunakan  US  farmakope,  British  farmakope,  international
farmakope.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 106
Cukup jelas.

Pasal 107
Cukup jelas.

Pasal 108
Ayat (1)
Yang  dimaksud  dengan  “tenaga  kesehatan”  dalam  ketentuan  ini
adalah  tenaga  kefarmasian  sesuai  dengan  keahlian  dan
kewenangannya. Dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga
kesehatan  tertentu  dapat  melakukan  praktik  kefarmasian  secara
terbatas, misalnya antara lain dokter dan/atau dokter gigi, bidan,
dan  perawat,  yang  dilaksanakan  sesuai  dengan  peraturan
perundang-undangan. 
Ayat (2)  
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112 . . .










- 24 -



Pasal 112
Dalam  pengaturan  termasuk  diatur  penggunaan  bahan  tambahan
makanan  dan  minuman  yang  boleh  digunakan  dalam  produksi  dan
pengolahan makanan dan minuman.

Pasal 113
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penetapan standar diarahkan agar zat adiktif yang dikandung oleh
bahan tersebut dapat ditekan untuk mencegah beredarnya bahan
palsu.  Penetapan  persyaratan  penggunaan  bahan  yang
mengandung zat adiktif ditujukan untuk menekan dan mencegah
penggunaan yang mengganggu atau merugikan kesehatan.

Pasal 114
Yang  dimaksud  dengan  “peringatan  kesehatan”  dalam  ketentuan  ini
adalah tulisan yang jelas dan mudah terbaca dan dapat disertai gambar
atau bentuk lainnya.

Pasal 115
Ayat (1)
Khusus bagi tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya dapat
menyediakan tempat khusus untuk merokok.
Ayat (2) 
Pemerintah daerah dalam menetapkan kawasan tanpa rokok harus
mempertimbangkan seluruh aspek secara holistik.

Pasal 116
Cukup jelas.

Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118 . . .









- 25 -

Pasal 118
Cukup jelas.

Pasal 119
Cukup jelas.

Pasal 120
Cukup jelas.

Pasal 121
Cukup jelas.

Pasal 122
Cukup jelas.

Pasal 123
Cukup jelas.

Pasal 124
Cukup jelas.

Pasal 125
Cukup jelas.

Pasal 126
Cukup jelas.

Pasal 127
Cukup jelas.

Pasal 128
Ayat (1) 
Yang  dimaksud  dengan  “pemberian  air  susu  ibu  ekslusif”  dalam
ketentuan ini adalah pemberian hanya air susu ibu selama 6 bulan,
dan dapat terus dilanjutkan sampai dengan 2 (dua) tahun dengan
memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) sebagai
tambahan makanan sesuai dengan kebutuhan bayi.  
Yang . . .










- 26 -


Yang  dimaksud  dengan  “indikasi  medis”  dalam  ketentuan  ini
adalah  kondisi  kesehatan  ibu  yang  tidak  memungkinkan
memberikan  air  susu  ibu  berdasarkan  indikasi  medis  yang
ditetapkan oleh tenaga medis. 
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 129
Ayat (1)
Yang  dimaksud  dengan  “kebijakan”  dalam  ketentuan  ini  berupa
pembuatan norma, standar, prosedur dan kriteria.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 130
Cukup jelas.

Pasal 131
Cukup jelas.

Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.

Pasal 134
Cukup jelas.

Pasal 135
Cukup jelas.


Pasal 136 . . .









- 27 -
Pasal 136
Ayat (1) 
Setiap  anak  usia  sekolah  dan  remaja  berhak  atas  informasi  dan
edukasi serta  layanan kesehatan termasuk kesehatan reproduksi
remaja  dengan  memperhatikan  masalah  dan  kebutuhan  agar
terbebas  dari  berbagai  gangguan  kesehatan  dan  penyakit  yang
dapat menghambat pengembangan potensi anak.
Setiap  anak  usia  sekolah  dan  remaja  berhak  mendapatkan
pendidikan kesehatan melalui sekolah dan madrasah dan maupun
luar sekolah untuk meningkatkan kemampuan hidup anak dalam
lingkungan hidup yang sehat sehingga dapat belajar, tumbuh dan
berkembang  secara  harmonis  dan  optimal  menjadi  sumber  daya
manusia yang berkualitas.
Upaya pembinaan usia sekolah dan remaja sebagaimana dimaksud
pada  ayat  (1)  harus  ditujukan  untuk  menyiapkan  anak  menjadi
orang dewasa yang sehat, cerdas dan produktif baik sosial maupun
ekonomi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 137
Cukup jelas.

Pasal 138
Cukup jelas.

Pasal 139
Cukup jelas.

Pasal 140
Cukup jelas.

Pasal 141
Ayat (1)
Cukup jelas. 
Ayat (2) . . .










- 28 -


Ayat (2) 
Yang dimaksud dengan “gizi seimbang” dalam ketentuan ini adalah
asupan  gizi  sesuai  kebutuhan  seseorang  untuk  mencegah  resiko
gizi lebih dan gizi kurang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 142
Cukup jelas.

Pasal 143
Cukup jelas.

Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Cukup jelas.

Pasal 146
Cukup jelas.

Pasal 147
Cukup jelas.

Pasal 148
Cukup jelas.

Pasal 149
Cukup jelas.

Pasal 150
Cukup jelas.

Pasal 151
Cukup jelas.



Pasal 152 . . .









- 29 -
Pasal 152
Cukup jelas.
Pasal 153
Cukup jelas.

Pasal 154
Cukup jelas.

Pasal 155
Cukup jelas.

Pasal 156
Cukup jelas.

Pasal 157
Ayat (1)
Perilaku hidup bersih dan sehat bagi penderita penyakit menular
dilakukan  dengan  tidak  melakukan  tindakan  yang  dapat
memudahkan penularan penyakit pada orang lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 158
Cukup jelas.

Pasal 159
Cukup jelas.

Pasal 160
Cukup jelas.
Pasal 161
Cukup jelas.


Pasal 162 . . .










- 30 -


Pasal 162
Cukup jelas.

Pasal 163
Cukup jelas.

Pasal 164
Cukup jelas.

Pasal 165
Cukup jelas.

Pasal 166
Cukup jelas.

Pasal 167
Cukup jelas.

Pasal 168
Cukup jelas.
Pasal 169
Cukup jelas.

Pasal 170
Cukup jelas.

Pasal 171
Ayat (1) 
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bagi  daerah  yang  telah  menetapkan  lebih  dari  10%  (sepuluh
persen) agar tidak menurunkan jumlah alokasinya dan bagi daerah
yang  belum  mempunyai  kemampuan  agar  dilaksanakan  secara
bertahap.

Ayat (3) . . .









- 31 -
Ayat (3)
Yang  dimaksud  dengan  “kepentingan  pelayanan  publik”  dalam
ketentuan  ini  adalah  pelayanan  kesehatan  baik  pelayanan
preventif,  pelayanan  promotif,  pelayanan  kuratif,  dan  pelayanan
rehabilitatif  yang  dibutuhkan  masyarakat  dalam  meningkatkan
derajat kesehatannya. Biaya tersebut dilakukan secara efisien dan
efektif  dengan  mengutamakan  pelayanan  preventif  dan  pelayanan
promotif dan besarnya sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari
APBN dan APBD.

Pasal 172
Cukup jelas.

Pasal 173
Cukup jelas.

Pasal 174
Cukup jelas.
Pasal 175
Cukup jelas.

Pasal 176
Cukup jelas.

Pasal 177
Cukup jelas.

Pasal 178
Cukup jelas.

Pasal 179
Cukup jelas.

Pasal 180
Cukup jelas.



Pasal 181 . . .










- 32 -


Pasal 181
Cukup jelas.

Pasal 182
Cukup jelas.

Pasal 183
Cukup jelas.

Pasal 184
Cukup jelas.

Pasal 185
Cukup jelas.
Pasal 186
Cukup jelas.

Pasal 187
Cukup jelas.

Pasal 188
Cukup jelas.

Pasal 189
Cukup jelas.

Pasal 190
Cukup jelas.

Pasal 191
Cukup jelas.

Pasal 192
Cukup jelas.
Pasal 193
Cukup jelas.
Pasal 194 . . .









- 33 -
Pasal 194
Cukup jelas.

Pasal 195
Cukup jelas.

Pasal 196
Cukup jelas.

Pasal 197
Cukup jelas.

Pasal 198
Cukup jelas.

Pasal 199
Cukup jelas.

Pasal 200
Cukup jelas.

Pasal 201
Cukup jelas.

Pasal 202
Cukup jelas.

Pasal 203
Cukup jelas.

Pasal 204
Cukup jelas.

Pasal 205
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50635063